Waspadai Korupsi di Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Korupsi di bidang pengelolaan sumber daya alam memicu dampak paling parah terhadap kemiskinan dan rendahnya tingkat kesejahteraan. Otonomi daerah yang tidak dilengkapi dengan sistem pengawasan birokrasi yang memadai, serta mahalnya biaya politik elektoral, membuat kesenjangan ekonomi akibat praktik korupsi pengelolaan sumber daya alam tersebut semakin menyesakkan masyarakat.
Selama 20 tahun reformasi, korupsi masih menjadi musuh bersama. Penanggulangannya harus dilakukan secara holistik dan memerlukan komitmen kuat, terlebih lagi di era otonomi daerah dan para kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Politik lokal lima tahunan itu turut mewarnai potensi korupsi di daerah, karena berbagai modus yang ditemui menunjukkan para calon kepala daerah berkolaborasi dengan pebisnis demi mengejar keuntungan masing- masing.
Selama 20 tahun reformasi, korupsi masih menjadi musuh bersama. Penanggulangannya harus dilakukan secara holistik dan memerlukan komitmen kuat, terlebih lagi di era otonomi daerah dan para kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah, Minggu (20/5/2018), di Jakarta, mengatakan, korupsi dalam bidang pengelolaan sumber daya alam (SDA), terutama energi dan sumber daya mineral (ESDM), harus diwaspadai oleh penegak hukum, seperti kejaksaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, pada tahun politik ini.
”Korupsi dalam pemberian izin pengelolaan SDA dan tambang atau ESDM semakin subur dalam beberapa waktu terakhir ini. Hasil kajian kami menunjukkan sektor SDA dan tambang sangat rawan korupsi dan kerap dimanfaatkan oleh politisi atau calon kepala daerah untuk mendulang uang bagi biaya politik mereka,” kata Maryati.
Di satu sisi, Kementerian Dalam Negeri harus mengambil upaya preventif, antara lain melalui kerja sama dengan Kementerian ESDM, untuk mewaspadai dan mengevaluasi pemberian izin pertambangan dan pengelolaan SDA lainnya kepada perusahaan.
Perizinan
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam diskusi yang digelar oleh Transparency International Indonesia, Jumat, akhir pekan lalu, mengatakan, korupsi izin pertambangan, seperti yang terjadi di Sulawesi Tenggara, rentan terulang kembali karena rendahnya komitmen para kepala daerah dalam melawan korupsi. Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam yang terjerat dalam korupsi pemberian izin tambang di provinsi tersebut telah divonis 12 tahun penjara.
Di Sulawesi Tenggara, misalnya, ada 10.000 izin pertambangan yang ketika luasan lahannya dijumlahkan akan melebihi total luasan provinsi itu sendiri. Hal serupa terjadi dalam pemberian izin tambang di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, yakni total izin wilayah pertambangan yang dikeluarkan ternyata setelah dijumlahkan melebihi luasan provinsi tersebut.
”Artinya, ada regulasi yang tidak dipatuhi oleh kepala daerah ataupun perusahaan yang mengajukan izin pengelolaan. Tidak jarang pula pengusaha yang mengajukan izin tersebut tidak membayar biaya pemulihan kerusakan lingkungan yang timbul akibat penambangan tersebut,” kata Syarif.
Berdasarkan data KPK, saat ini ada 9.155 izin usaha pertambangan (IUP) yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, baru 6.638 IUP yang sudah memenuhi syarat clear and clean (CNC) sebagaimana disyaratkan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Permen itu mengatur detail mengenai syarat-syarat suatu IUP bisa dikeluarkan oleh provinsi.
Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun mengatakan, korupsi dalam pengelolaan SDA cenderung menimbulkan kerugian besar. Seperti kasus Nur Alam, negara ditaksir merugi lebih dari Rp 4 triliun. Kerugian itu timbul antara lain karena kerusakan lingkungan akibat pertambangan yang tidak bertanggung jawab.
Pada satu perkara korupsi kehutanan, kerugian negara bisa Rp 1,2 triliun. Dalam kasus Nur Alam, misalnya, dari total kerugian negara yang diperkirakan Rp 4 triliun lebih, yang terbukti hanya Rp 1,5 triliun karena hakim tidak menganggap kerugian ekologis yang ditimbulkannya. Dengan potensi kerugian negara yang besar tersebut, fungsi pengawasan oleh negara harus lebih ketat dalam pemberian izin usaha oleh gubernur,” tutur Tama S Langkun.