Ketar-ketir Partai Jelang Pesta Demokrasi
Kegaduhan soal bursa calon wakil presiden belakangan ini menunjukkan bahwa partai politik sebenarnya sedang cemas. Mereka samasama sedang meniti jalan yang asing akibat pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang untuk pertama kalinya akan diadakan bersamaan pada 2019. Ada satu ”momok” yang menghantui, yaitu efek ekor jas (coattail effect), yang menyangkut hidup-mati partai.
Efek ekor jas umumnya dijumpai di Amerika Serikat ketika kemenangan seorang kandidat presiden berbanding lurus dengan banyaknya kursi yang diperoleh partainya di Kongres.
Efek ekor jas umumnya dijumpai di Amerika Serikat ketika kemenangan seorang kandidat presiden berbanding lurus dengan banyaknya kursi yang diperoleh partainya di Kongres. Di Indonesia, selama ini efek itu tidak terlalu terasa karena pemilihan legislatif (pileg) diadakan beberapa bulan lebih awal dari pembentukan koalisi dan pemilihan presiden (pilpres).
Dengan pileg dan pilpres serentak, muncul asumsi bahwa kontestasi di pileg tidak bergantung semata-mata pada calon anggota legislatif (caleg) partai. Kontestasi itu turut dipengaruhi figur pasangan calon presiden dan wakil presiden yang didukung partai. Semakin tinggi elektabilitas paslon yang diusung di pilpres, semakin tinggi kans partai menang di pileg.
Berangkat dari anggapan itu, partai marak berburu insentif elektoral. Di pinggir jalan tol atau di setiap perempatan jalan Ibu Kota, dapat dijumpai baliho atau spanduk berukuran besar yang menunjukkan wajah ketua umum partai, disandingkan dengan wajah capres yang didukung.
Di pinggir Jalan Gatot Subroto, seolah menyapa pengendara yang terjebak kemacetan dari arah Pancoran, tampak baliho besar dengan wajah Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh melambaikan tangan di samping Presiden Joko Widodo. Baliho itu bertuliskan ”Jokowi Presidenku, Nasdem Partaiku”. Sekitar 500 meter ke depan, ada baliho serupa dengan gambar wajah Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Pemasangan alat peraga kampanye menjadi salah satu upaya partai mendekatkan citranya dengan capres yang didukung. Namun, strategi seperti itu belum tampak membuahkan hasil. Bahkan, Golkar yang merupakan partai pertama yang mendukung Jokowi untuk maju lagi di 2019 dan sudah menyebar spanduk sejak 2016, tidak menikmati insentif elektoral itu.
Berbagai hasil survei terbaru menunjukkan, insentif elektoral sejauh ini hanya dinikmati oleh partai-partai pengusung utama capres, yaitu PDI Perjuangan yang merupakan partai asal Jokowi dan Partai Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo.
Dalam survei Indikator Politik Indonesia, 25-31 Maret 2018, elektabilitas PDI-P di peringkat pertama dengan 27,7 persen, disusul Gerindra 11,4 persen. Itu senada dengan survei Litbang Kompas, 21 Maret-1 April 2018, dengan elektabilitas PDI-P 33,3 persen, disusul Gerindra 10,9 persen.
Sementara itu, elektabilitas Golkar sampai sekarang cenderung stagnan. Golkar yang biasanya bercokol di posisi kedua tersalip oleh Gerindra. Dalam survei Indikator, elektabilitas Golkar berada di posisi ketiga dengan angka 8 persen. Angka serupa ditemukan di survei Litbang Kompas. Elektabilitas Golkar stagnan di posisi ketiga sebesar 7-9 persen setahun ini.
Perburuan insentif elektoral kian sulit dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menaikkan ambang batas parlemen sebagai syarat lolosnya partai ke DPR menjadi 4 persen dari sebelumnya 3,5 persen.
Dengan ketentuan baru itu, beberapa partai, seperti Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Hanura, diprediksi tidak lolos mendapat kursi di DPR meski sudah sejak lama mendukung Jokowi dan berusaha mengasosiasikan citra partai dengan Jokowi.
Fenomena serupa juga bisa dijumpai di koalisi Prabowo. Elektabilitas Partai Keadilan Sejahtera (PKS), berdasarkan survei Lingkaran Survei Indonesia, terancam tak lolos ke Senayan karena perolehannya hanya 2,2 persen. Padahal, sejak Pemilu 2014, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, sampai Pemilu 2019 ini, PKS terus menjadi rekan koalisi Gerindra yang lekat dengan figur Prabowo.
”Saya yakin banyak partai yang akan rontok karena banyak yang belum tahu bagaimana cara bertarung di sistem baru seperti ini. Partai besar mungkin bisa bertahan, tetapi partaikecil bisa bablas,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa Jazilul Fawaid.
Berebut cawapres
Partai-partai, baik besar maupun kecil, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Dua pekan lalu, Golkar menggelar diskusi penguatan strategi pemenangan Pileg 2019. Inti diskusi adalah membahas figur Jokowi yang ternyata tidak banyak mendongkrak elektabilitas partai.
Hasilnya, Golkar pun mulai terbuka mendorong elitenya untuk menjadi cawapres Jokowi, seperti Airlangga Hartarto dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. ”Supaya coattail effect ini dirasakan partai, kita harus cari cara lain, penguatan di sisi lain. Salah satunya dengan mendorong kader partai jadi cawapres,” kata Ketua Koordinator Bidang Ekonomi Partai Golkar Aziz Syamsuddin.
Semangat perburuan insentif elektoral dan perburuan kursi cawapres itu juga banyak muncul di partai lain. Sebut saja Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang sejak lama mendeklarasikan pasangan JOIN atau Jokowi-Cak Imin meski belum resmi menyatakan arah koalisinya mendukung Jokowi pada 2019.
Di sisi lain, PPP sebagai partai berbasis keagamaan tak spesifik mengajukan elitenya, tetapi meminta agar Jokowi memilih cawapres yang berasal dari kalangan santri. Ini dimaksudkan agar pencalonan Jokowi punya efek elektoral ke caleg PPP.
Fenomena efek ekor jas ini juga yang menyebabkan komunikasi antara Gerindra, PKS, dan Partai Amanat Nasional belakangan menghangat. PKS dan PAN sama-sama ingin Prabowo mengambil elitenya sebagai cawapres. Bahkan, PKS memberi tenggat pada Prabowo untuk mengambil cawapres dari sembilan kader PKS yang diusulkan. Jika tidak, PKS akan mengkaji opsi poros koalisi ketiga.
Sementara Partai Demokrat punya pendekatan yang berbeda. Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin mengatakan, untuk mendapatkan efek ekor jas, Demokrat pilih memunculkan poros baru dan mengangkat Agus Harimurti Yudhoyono, putra Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai sosok calon pemimpin.
Meski elektabilitas Agus saat ini masih di bawah Jokowi dan Prabowo, langkah ini dianggap lebih dapat membawa insentif elektoral untuk Demokrat.
Semakin pragmatis
Berangkat dari keinginan untuk berburu insentif elektoral, penjajakan koalisi dikhawatirkan semakin jauh dari basis kesamaan ideologi, visi-misi, dan program partai untuk menciptakan pemerintahan efektif demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Partai terjebak pada khitah politik yang pragmatis sebagaimana disebut Harold D Lasswell, politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana.
Penetapan syarat itu diharapkan mendorong terbentuknya koalisi pendukung pemerintah yang solid sejak dini berdasarkan kesamaan ideologi dan program antarpartai, serta tidak transaksional.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan, tujuan diadakannya pemilu serentak sebenarnya adalah untuk membangun suatu sistem presidensial yang lebih efektif. Oleh karena itu, dalam pembahasan UU Pemilu, ambang batas pencalonan presiden ditetapkan sebesar 20 persen kursi di DPR.
Penetapan syarat itu diharapkan mendorong terbentuknya koalisi pendukung pemerintah yang solid sejak dini berdasarkan kesamaan ideologi dan program antarpartai, serta tidak transaksional.
Namun, dengan orientasi elite partai politik yang berbasis office-seeking atau pencarian jabatan, koalisi yang terbentuk sekarang terancam tidak jauh berbeda. ”Ujung-ujungnya tetap muncul koalisi semu,” katanya.
Syamsuddin mengatakan, partai-partai sebenarnya tak perlu terjebak mengejar efek ekor jas, cukup fokus menguatkan mesin partai di setiap lapisan masyarakat dan menyusun daftar caleg yang berintegritas serta punya ikatan kuat dengan daerah pemilihannya masing-masing. Sebab, pertarungan sebenarnya untuk partai ada di pileg, bukan pilpres.
Berburu insentif elektoral dari perebutan kursi cawapres tak hanya membuat gaduh, tetapi juga tak menjamin perolehan suara partai di pileg. ”Pileg dan pilpres memang berhubungan, tetapi tidak secara langsung. Partai tidak perlu buang waktu, fokus saja pada upaya memenangi pileg tanpa menggantungkan harapan pada sosok capres-cawapres,” ujar Syamsuddin.
Ketar-ketir yang dirasakan partai politik saat ini diharapkan tidak perlu sampai merusak cita-cita politik yang luhur.