JAKARTA, KOMPAS - Pelibatan ibu rumah tangga dan anak-anak dalam aksi teror di Surabaya, Jawa Timur, pertengahan Mei lalu, menunjukkan ideologi terorisme sudah menyebar ke lembaga pendidikan dan keluarga. Karena itulah Presiden Joko Widodo menginstruksikan pencegahan tidak hanya dilakukan dengan program deradikalisasi, tetapi juga pembersihan seluruh jenjang lembaga pendidikan dari ajaran terorisme.
Permintaan itu disampaikan Presiden Jokowi saat membuka rapat terbatas membahas pencegahan dan penggulangan terorisme di Kantor Presiden, Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (22/5). "Saya minta pendekatan soft power yang kita lakukan bukan hanya memperkuat program deradikalisasi, tetapi juga membersihkan lembaga-lembaga, mulai dari TK, SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi, dan mimbar-mimbar umum dari ajaran ideologi terorisme," katanya.
Selama ini, lanjut Presiden, pendekatan kekerasan atau hard power menjadi fokus dalam penanggulangan dan pemberantasan terorisme. Pencegahan dilakukan melalui penegakan hukum yang tegas dan keras, tanpa kompromi dengan memburu dan membongkar kelompok teroris hingga ke akarnya.
Pendekatan tersebut memang diperlukan, tetapi dinilai belum cukup untuk memerangi terorisme. Karena itulah Presiden Jokowi meminta agar aparat menyeimbangkan pendekatan hard power dengan pendekatan lunak (soft power).
Salah satu upaya penanggulangan terorisme dengan pendekatan lunak adalah program deradikalisasi yang ditujukan pada mantan narapidana terorisme. Tetapi berdasarkan pengalaman, deradikalisasi saja tidaklah cukup untuk menanggulangi terorisme. Sebab saat ini ideologi terorisme telah masuk ke dalam keluarga serta lembaga-lembaga pendidikan.
Karena itulah, menurut Presiden, pembersihan lembaga-lembaga pendidikan dari ideologi radikalisme dan terorisme dinilai penting. Sebab saat ini keluarga dan para siswa telah menjadi target indoktrinasi terorisme.
Kajian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan, sekolah sudah dijadikan tempat menyebarluaskan radikalisme dan terorisme. Ideologi tersebut disebarkan melalui kegiatan pembelanjaran di kelas dan di luar kelas, buku pelajaran, ektrakulikuler, dan pertemuan-pertemuan. Ditemukan pula fenomena sekolah atau guru dan siswa yang menghindar dari kegiatan upacara bendera dan pelajaran kewarganegaraan. Indoktrinasi radikalisme semakin kuat melalu media sosial yang relatif dekat dengan kehidupan siswa.
Untuk mencegah penyebaran terorisme, pemerintah mengancam menutup sekolah-sekolah yang mengajarkan radikalisme. Selain itu guru-guru diimbau menerapkan Pendidikan Pancasila dan Kewarganeraan secara nyata, bukan sebagai pelajaran semata. Misalnya dengan mengajak siswa ke tempat ibadah umat agama lain, museum, kerja bakti, dan lainnya.
Jumat disahkan
Sementara itu seusai rapat terbatas, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly kembali menegaskan pemerintah sudah satu suara terkait definisi terorisme yang akan dituangkan dalam perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Oleh karena itu diharapkan, RUU perubahan UU 15/2003 itu bisa disahkan hari Jumat pekan ini.
"Pemerintah sudah satu suara, sehingga targetnya Kamis raker (pengesahan tingkat pertama) dan Jumat disahkan di paripurna DPR," tuturnya.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu juga menegaskan jika saat ini pemerintah fokus menyelesaikan pembahasan RUU Antiterorisme. Belum ada rencana untuk merevisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.