Hindari Tawar-menawar, Kemendagri Dorong Kepala Daerah Buat Peraturan
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri mengakui adanya tekanan yang didapat kepala daerah saat pembahasan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang akhirnya berujung pada tawar-menawar di antara kedua pihak. Namun, hal itu pun belum pasti memuluskan pembahasan RAPBD dan masih membuka peluang untuk terhenti menjelang pelaksanaan tahun anggaran berikutnya.
Untuk mengejar sisa kerja rencana pembangunan pada akhir masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Kemendagri mendorong para kepala daerah untuk mengeluarkan rancangan peraturan kepala daerah jika tidak tercapai kesepakatan antara pihak eksekutif dan legislatif. Sanksi bagi para penghambat pun disiapkan.
”Kalau gubernur, bupati, dan wali kota merasa tertekan atau ada saling menekan antara eksekutif dan legislatif, ya, jangan sampai dikompromikan dalam peraturan daerah (perda). Bisa lewat peraturan gubernur atau peraturan kepala daerah itu adalah hal yang sah,” kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo seusai Rapat Koordinasi Keuangan Daerah 2018 di Jakarta, Kamis (24/5/2018).
Tjahjo mengatakan, jika kondisi tersebut tidak dapat dihindari, yaitu tidak ada kesepakatan antara eksekutif dan legislatif, pembuatan peraturan kepala daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota, sangat dimungkinkan. Hal demikian diperlukan agar pelaksanaan program kerja tidak terlambat.
Tjahjo mengatakan, kepala daerah tidak perlu khawatir ketika ada ketidaksepakatan antara eksekutif dan legislatif mengenai RAPBD karena payung hukum yang menaunginya sudah ada. Hal itu tercantum dalam Pasal 313 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan, apabila kepala daerah dan DPRD tidak mengambil persetujuan bersama dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak disampaikan Ranperda tentang APBD oleh KDH kepada DPRD, KDH menyusun dan menetapkan perkada tentang APBD paling tinggi sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan.
Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin mengatakan, hal demikian mengesankan pemerintah terlalu campur tangan dalam urusan rumah tangga internal pemerintah daerah. Namun, sejatinya, kata Syarifuddin, karena pemerintah pusat tidak ingin pelayanan dasar bagi masyarakat terganggu dengan terhentinya pembahasan RAPBD antara eksekutif dan legislatif.
Dia juga menjelaskan, jika ada salah satu pihak yang dinilai menghambat pembahasan, baik eksekutif maupun legislatif, berdasarkan peraturan perundangan, mereka akan dikenai sanksi. Pasal 312 Ayat (2) UU 23/2014 menyebutkan, DPRD dan kepala daerah yang tidak menyetujui bersama rancangan perda tentang APBD sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun sebagaimana dimaksud Ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.
Namun, dorongan Kemendagri tersebut tidak sepenuhnya apik untuk dilaksanakan. Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng, ada beberapa kelemahan yang muncul dari dorongan tersebut, yaitu bahwa anggaran yang ditetapkan dalam peraturan kepala daerah adalah sama dengan anggaran tahun berjalan.
”Jumlahnya sama atau bahkan bisa lebih sedikit dengan anggaran tahun berjalan, padahal biasanya anggaran dari tahun ke tahun meningkat. Itulah yang diharapkan,” katanya.
Selain itu, organisasi perangkat daerah, seperti dinas-dinas, akan berjibaku lebih kencang dengan anggota legislatif di dalam perjalanan pelaksanaan anggaran. Hal ini disebabkan ada sentimen bahwa anggaran yang dilaksanakan tahun berikutnya hanya digelontorkan sepihak tanpa ada masukan dari DPRD. ”Bisa jadi kepala dinas dan SKPD akan jadi bulan-bulanan anggota legislatif,” katanya.
Hal itu bisa terlihat salah satunya ketika mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berseteru dengan anggota DPRD DKI Jakarta.
Menurut Endi, daripada mendorong pembuatan peraturan kepala daerah yang akan lebih menyulitkan eksekutif di kemudian hari, Kemendagri harus memonitor kondisi hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif di seluruh Indonesia. Kemendagri akan bisa bergerak lebih cepat dan luwes dalam menangani terhentinya pembahasan anggaran dengan pengawasan ini.
Disinkronkan
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brojonegoro mengatakan, untuk tahun 2019, pemerintah pusat berharap pemerintah daerah menyinergikan program kerjanya agar capaian-capaian yang ada lebih nyata dan bermanfaat besar bagi masyarakat.
Beberapa hal yang ingin dicapai pemerintah pusat antara lain adalah pertumbuhan ekonomi 5,4-5,8 persen, angka kemiskinan 8,5-9,5 persen dari total jumlah penduduk, dan Indeks Pembangunan Manusia 71,98. Bambang berharap sinergi program kerja antara pusat dan pemerintah bisa mendorong pencapaian target-target tersebut pada akhir 2019.