JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pencalonan Anggota Legislatif yang memuat ketentuan yang melarang pencalonan bekas narapidana kasus korupsi menurut rencana akan diundangkan oleh KPU pekan depan. Agar pelarangan tersebut terealisasi, diperlukan komitmen serta dukungan semua pemangku kepentingan kepemiluan.
Setelah PKPU Pencalonan disahkan, terbuka peluang PKPU itu akan diuji materi ke Mahkamah Agung. Sesuai Pasal 76 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, PKPU yang diduga bertentangan dengan UU Pemilu bisa diuji ke MA. Bawaslu dan atau pihak yang dirugikan bisa mengajukan uji materi. Permohonan diajukan paling lambat 30 hari kerja sejak PKPU diundangkan.
Selain itu, apabila parpol tetap mencalonkan bekas narapidana korupsi, kemudian ditolak KPU, calon tersebut bisa mengajukan sengketa ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dengan kewenangannya, Bawaslu bisa memutus ”nasib” kepesertaan calon tersebut.
Ketua KPU Arief Budiman di Jakarta, Kamis (24/5/2018), menuturkan, apabila PKPU Pencalonan sudah diundangkan, semua pihak harus menghormati dan menjalankannya. Pihak yang tidak setuju dengan PKPU bisa mengajukan uji materi. Namun, dia mengingatkan agar jangan ada pihak yang ”menabrak” aturan tersebut sepanjang masih berlaku. KPU siap menghadapi pengujian materi atas PKPU itu.
”KPU bisa diubah karena dua cara. Pertama, KPU yang mengubah sendiri. Kedua, melalui uji materi,” kata Arief.
Dalam rapat konsultasi penyusunan PKPU tentang Pencalonan Anggota Legislatif, Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri, dan Bawaslu menyampaikan ketidaksetujuan terhadap Pasal 7 Ayat 1 huruf J draf PKPU Pencalonan yang menyatakan calon anggota legislatif ”bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi”. Pelarangan itu dianggap bertentangan dengan UU Pemilu.
Penolakan ini disayangkan anggota KPU Periode 2012-2017, Sigit Pamungkas. Menurut dia, penolakan itu menunjukkan sikap ambivalen dan diskriminatif. Semestinya DPR tidak menolak inisiatif KPU untuk melarang bekas narapidana korupsi mencalonkan diri. Alasan bahwa UU Pemilu tidak mengatur hal itu tidak relevan.
”Bukankah terkait PKPU Pencalonan Perseorangan (DPP) yang sudah disahkan, pemerintah dan DPR setuju pelarangan terhadap koruptor. Tapi kenapa ketika berkaitan dengan DPR dan DPRD menolak untuk diatur?” katanya.
PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD yang diundangkan pada 12 April 2018 juga memiliki klausul sama. Pasal 60 Ayat 1 huruf J mensyaratkan calon anggota DPD ”bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi”.
Sikap Bawaslu
Ketua Bawaslu Abhan menyampaikan, Bawaslu tidak anti terhadap pemberantasan korupsi, serta mendukung gagasan itu, tetapi harus tetap didudukkan dalam proporsi undang-undang. Menurut dia, hak politik hanya bisa dicabut dengan undang-undang atau putusan pengadilan. Dia mengaku menghormati keputusan KPU, tetapi juga akan melihat PKPU itu setelah diundangkan.
Abhan juga akan menunggu apakah ada pihak yang mengajukan permohonan uji materi. Abhan menyampaikan, Bawaslu belum berpikir untuk menguji materi PKPU itu.
Saat ditanya bagaimana posisi Bawaslu saat ada pengajuan sengketa pencalonan dari bakal calon yang ditolak KPU karena berstatus bekas narapidana korupsi, Abhan mengaku akan melihat kasus per kasus.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto serta Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, secara terpisah, mengingatkan Bawaslu untuk tidak mengesampingkan PKPU Pencalonan jika muncul sengketa dari bakal calon berlatar belakang bekas narapidana korupsi. Titi mengingatkan Bawaslu bahwa keadilan substantif tidak bisa dicapai dengan mengabaikan prosedur.