JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan lembaga-lembaga negara yang sifatnya independen dan bertujuan mengawasi penegak hukum, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian Nasional, belum optimal membantu berjalannya reformasi di tubuh penegak hukum. Sejumlah faktor menjadi penyebabnya, mulai dari keterbatasan anggaran, upaya pelemahan lembaga, hingga desain kelembagaan yang masih lemah.
Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan, hasil studi lembaganya menunjukkan baik Mahkamah Agung (MA), kejaksaan, maupun kepolisian masih sering dilaporkan dan dikeluhkan oleh publik.
Laporan terhadap kinerja ketiga lembaga itu dicatat oleh lembaga-lembaga pengawas, tetapi tidak jelas respons dan tindak lanjut penegak hukum terhadap laporan tersebut.
”Perlu dievaluasi lagi peran lembaga-lembaga pengawas tersebut. Sejauhmana rekomendasi dan respons mereka terhadap laporan tersebut. Harus juga ada korelasi yang jelas antara naiknya anggaran lembaga penegak hukum terhadap kinerja mereka, apakah tingkat kepuasan publik naik ataukah justru makin banyak laporan keberatan terhadap lembaga tersebut,” kata Erwin dalam diskusi yang digelar di kantor ILR, Kamis (24/5/2018) di Jakarta.
Hadir pula sebagai narasumber Wakil Ketua KY Sukma Violetta, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin al-Rahab, dan anggota Komisi Kejaksaan RI Indra Sugianto.
Lembaga-lembaga pengawas itu seharusnya berkontribusi pada upaya reformasi penegak hukum. Sebab, berdirinya lembaga-lembaga pengawasan tersebut di era Reformasi juga dimaksudkan untuk mengawal berjalannya reformasi penegak hukum. Reformasi di tubuh penegak hukum merupakan bagian dari upaya mewujudkan supremasi hukum yang merupakan salah satu agenda reformasi.
Namun, kontribusi itu dirasakan belum optimal karena masih tingginya laporan ketidakpuasan publik, ataupun laporan penyimpangan penegak hukum yang tidak jelas penyelesaiannya.
Dalam pengawasan hakim, pada rentang waktu 2005-2017, KY menerima 16.372 laporan masyarakat. Setiap tahun KY menerima rata-rata 1.259 laporan dari masyarakat. Dari laporan itu, hanya 624 laporan yang terkait dengan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH).
Dalam tiga tahun terakhir, tren usulan penjatuhan sanksi berat kepada hakim pun meningkat. Tahun 2017, ada 15 hakim yang direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi berat. Itu adalah jumlah tertinggi dalam 12 tahun terakhir.
Kendati demikian, tidak semua rekomendasi KY ditindaklanjuti oleh MA. Sebagian besar rekomendasi itu tidak ditindaklanjuti karena dianggap menyangkut teknis yudisial.
Sebagai contoh, kata Sukma, pada tahun 2017, KY merekomendasikan sanksi terhadap 58 hakim terlapor. Sebanyak 42 rekomendasi telah dikirimkan kepada MA, tetapi yang ditindaklanjuti hanya 9 kasus.
”Jadi, hakim-hakim yang kami nilai salah memakai undang-undang, atau salah menerapkan proses peradilan, itu ditindaklanjuti. Perkembangannya kemudian, mereka yang kami nilai keliru murni dalam berperilaku, misalnya menerima suap dan ikut mengatur perkara juga tidak ditindaklanjuti. Itu tren paling akhir yang kami catat,” urai Sukma.
Hadapi pelemahan
KY dalam perjalanannya juga menghadapi upaya pelemahan, antara lain ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengurangi kewenangan MK dalam mengawasi hakim konstitusi, dan mencabut kewenangan KY dalam seleksi hakim tingkat pertama.
Kesulitan pengawasan juga ditemui oleh Komisi Kejaksaan (Komjak). Dari tahun 2006 hingga 2017 terdapat 8.915 laporan diterima Komjak. Dari jumlah itu yang ditindaklanjuti 3.528 laporan, atau 39,6 persen dari total laporan masyarakat.
Indra mengatakan, pihaknya memerlukan dukungan publik untuk juga mengawal kejaksaan. Dia mengakui ada kelemahan di dalam mekanisme pengawasan terhadap kejaksaan.
”Trennya melemah. Yang perlu dipertanyakan juga apakah kejaksaan punya visi atau tidak untuk maju ke depan. Selama ini yang disebutkan adalah kalau kejaksaan kuat, maka Komisi Kejaksaan juga kuat. Nah, ini, kan, tidak tepat sebenarnya. Kami dibentuk untuk mengawasi kejaksaan,” katanya.
Anggaran yang minim juga menjadi persoalan. Dalam setahun, Komjak menerima anggaran Rp 3 miliar. Penganggaran Komjak masih menumpang kepada Kementerian Politik Hukum dan Keamanan.
Adapun fungsi dan peran Komjak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 sangat luas, yakni mengawasi sikap dan perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan baik di dalam maupun di luar dinas. Komjak dengan demikian harus mengawasi 23.000 jaksa dan pegawai kejaksaan di seluruh Indonesia.
Amiruddin mengatakan, konsistensi penegak hukum dan lembaga pengawas menjadi kunci utama menyelesaikan agenda reformasi.
”Konsistensi itu yang tidak terjadi. Ada KY, Komisi Kejaksaan, dan Komnas HAM, tetapi keberadaannya tidak dilihat sebagai bagian dari upaya perbaikan penegakan hukum. Masih ditemui resistensi. Akibatnya, lembaga-lembaga itu masih menjadi sekadar embel-embel dalam upaya reformasi hukum kita,” katanya.
Dalam penyelesaian berbagai kasus pelanggaran kasus HAM berat di masa lalu, misalnya, Komnas HAM telah memberikan laporan kepada Kejaksaan Agung. Namun, hingga sekarang, hasil penyelidikan itu belum ditindaklanjuti dengan penyidikan. Akibatnya, penyelesaian kasus hukum pelanggaran HAM itu terkatung-katung sampai saat ini.