JAKARTA, KOMPAS – Pengesahan Undang-Undang Antiterorisme yang baru memberi harapan bagi para korban aksi teror. Peran negara untuk memenuhi hak korban telah hadir dalam UU itu. Tetapi, pemerintah diharapkan segera membahas peraturan pemerintah tentang pelayanan hak korban, sehingga aturan-aturan itu bisa berlaku secara efektif dan dirasakan oleh seluruh korban peristiwa teror di Tanah Air.
Aturan bagi para korban terdapat dalam lima pasal di UU Antiterorisme yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat, Jumat (25/5/2018) lalu, yakni Pasal 35A, Pasal 35B, Pasal 36A, Pasal 36 B, dan Pasal 43L. Dasar hukum itu mengatur bahwa negara bertanggung jawab atas sejumlah pelayanan bagi korban aksi teror, seperti bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, santunan bagi keluarga korban yang meninggal dunia, serta kompensasi.
Bantuan dan pelayanan bagi korban dalam UU itu berlaku surut. Artinya, ratusan korban aksi teror yang terjadi sebelum UU itu disahkan tetap dapat mengajukan permohonan kompensasi kepada negara. Mereka memiliki batas waktu hingga tiga tahun sejak UU itu mulai berlaku. Seluruh permohonan itu diajukan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai menuturkan, jaminan perlindungan kepada korban akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP). PP itu akan mengatur dua hal. Pertama, bantuan korban teror yang terjadi sebelum UU Antiterorisme baru disahkan. Kedua, pelayanan dan bantuan korban aksi teror setelah adanya UU itu.
Lebih lanjut, Haris menjelaskan, untuk korban teror sebelum disahkan UU Antiteror yang baru, seluruh korban dapat mengajukan kompensasi melalui LPSK. Terkait besaran kompensasi yang akan diberikan, tambah Haris, pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.
“Dengan adanya batas waktu tiga tahun, maka kami akan gencarkan sosialisasi UU ini kepada seluruh korban teror. Melalui UU Antiterorisme yang baru diharapkan pemenuhan hak korban dapat lebih maksimal,” ujar Haris, Minggu (27/5/2018), di Jakarta.
Pengajuan kompensasi itu, Haris menambahkan, berlaku untuk seluruh korban serangan teror di Indonesia, mulai dari peristiwa bom Bali I pada 2002 hingga serangan bom tiga gereja di Surabaya, Mei 2018. Untuk mengajukan kompensasi, para korban perlu menyertakan surat penetapan korban yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Sementara itu, terkait korban teror pasca UU itu berlaku, Haris menegaskan, tuntutan kompensasi dan restitusi akan disampaikan LPSK kepada jaksa penuntut umum yang menangani kasus pidana aksi teror. Nantinya, besaran kompensasi dan restitusi akan ditentukan oleh majelis hakim melalui amar putusan pengadilan. Adapun, restitusi adalah pembayaran ganti rugi yang diberikan pelaku teror kepada korban.
Lalu, untuk kondisi darurat bagi masyarakat yang baru saja menjadi korban sebuah serangan teror, Haris memastikan, seluruh pengobatan medis hingga layanan psikososial dan psikologis ditanggung sepenuhnya oleh negara. Alhasil, masyarakat yang terdampak aksi teror bisa langsung menerima pelayanan medis di rumah sakit.
“Karena itu, kami berharap PP terkait hak korban segera dibahas. Sebab, meskipun UU telah berlaku, pemenuhan hak korban tidak optimal apabila belum ada PP,” ujarnya.
Ketua Umum Yayasan Penyintas Indonesia Sucipto Hari Wibowo mengapresiasi adanya aturan perlindungan korban dalam UU Antiterorisme. Selama ini, kata Sucipto, korban aksi teror belum merasakan kehadiran negara.
“Kami berharap banyak aturan perlindungan korban cepat terealisasi. Akhirnya, ada harapan dari perjuangan kami untuk mendapatkan kompensasi dari negara,” kata Sucipto yang merupakan korban bom Keduataan Besar Australia 2004.
Ketika menjadi korban peristiwa itu, ia mengungkapkan, dirinya hanya menerima pengobatan, rehabilitasi, hingga pemberian modal usaha dari pihak pemerintah Australia. Bantuan itu diterima sampai dengan tiga tahun pasca peristiwa itu.