Publik Setuju Kewenangan Berantas Terorisme
Revisi Rancangan Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akhirnya disyahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR (25/5/2018). Rekaman opini publik menunjukkan persetujuan mayoritas responden terhadap poin-poin penting pencegahan dan penindakan terorisme.
Revisi RUU yang diajukan oleh pemerintah dan sudah masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) di DPR sejak awal tahun 2016 ini sempat mangkrak pembahasannya sejak Mei 2017 lalu. Teror bom bunuh diri yang terjadi terhadap tiga gereja dan Polrestabes Surabaya 10-13 Mei 2018 sehingga mengakibatkan menelan puluhan korban jiwa menjadi faktor pendorong pemerintah dan DPR mempercepat pengesahan RUU tersebut.
Revisi RUU No 15 Tahun 2013 ini sangat mendesak untuk segera disahkan karena diperlukan sebagai payung hukum aparat keamanan dalam rangka mengantisipasi tindak pidana terorisme yang masih terus menjadi ancaman bangsa ini di masa mendatang. Tertundanya penyelesaiaan revisi RUU ini terutama berkaitan dengan belum adanya kesepakatan antara pemerintah dan DPR ataupun antar fraksi-fraksi di DPR mengenai beberapa hal diantaranya definisi terorisme, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, kewenangan aparat dalam penyadapan dan lamanya penahanan terduga teroris hingga hukuman mati bagi terpidana teroris.
Dalam pembahasan mengenai definisi terorisme, misalnya DPR dan pemerintah akhirnya sepakat untuk mengganti frasa “ancaman keamanan negara” menjadi “gangguan keamanan” untuk menghindari munculnya tafsir liar soal pelibatan TNI dalam menangani terorisme (Kompas, 25/5/2018). Pembahasan mengenai definisi terorisme ini sempat alot, karena sebelumnya ada dua opsi definisi di mana pada opsi pertama tidak ada frasa “motif ideologi, politik, dan gangguan keamanan”.
Fraksi PDI-P dan PKB yang awalnya mendukung opsi tanpa frasa “motif ideologi, politik, dan ancaman keamanan negara” akhirnya berubah pendapat dengan menyetujui penambahan frasa, namun dengan perubahan “ancaman keamanan negara” menjadi “gangguan keamanan”.
Perdebatan mengenai pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme dalam pembahasan revisi RUU di DPR saat ini bukan lagi pada perlu atau tidak TNI dilibatkan dalam penanganan terorisme, tetapi lebih ke bagaimana aturan detail dan teknis pelibatan TNI dalam membantu polisi menangani terorisme dengan tetap mengacu pada UU TNI.
Pelibatan TNI ini sudah disepakati dalam Pasal 43 huruf I yang berbunyi pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Sementara itu, detail pelaksanaan bagaimana TNI mengatasi aksi terorisme nantinya akan diatur dengan Peraturan Presiden.
Perdebatan dan pro kontra pelibatan TNI dalam ikut menangani ancaman terorisme ini tidak terlepas dari trauma masa lalu terutama dari pegiat HAM di mana ada ketakutan jika TNI dilibatkan akan terjadi pelanggaran HAM seperti yang terjadi pada masa lalu. Selain itu, TNI bukan bagian dari aparat penegak hukum, jadi dikhawatirkan pelibatan TNI jika tidak tepat pada porsinya justru akan mengganggu proses penegakan hukum.
Menyoal pelibatan TNI dalam penanganan terorisme maupun berbagai persoalan lain yang berkaitan dengan bahaya terorisme ini, jajak pendapat Kompas yang dilakukan pada 23-24 Mei 2018 lalu di 14 kota di Indonesia, mencoba menggali hal-hal yang menjadi perdebatan dalam UU Anti Terorisme di mata publik.
Hampir seluruh responden (94 persen) setuju TNI perlu lebih dilibatkan dalam upaya penanganan terorisme. Insiden teror bom bunuh diri di Surabaya dan Pekanbaru, sangat mungkin menjadi pendorong kasuistik mayoritas responden menjadi sepakat agar TNI lebih dilibatkan dalam penanggulangan terorisme.
Kekhawatiran beberapa kalangan bahwa pelibatan TNI dalam penanganan terorisme akan menghidupkan kembali militerisme seperti pada masa lalu, cenderung tidak ditanggapi dengan memadai. Bagian terbesar responden (58 persen) tidak khawatir dengan isu militerisme tersebut.
Kendati mayoritas responden setuju dengan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme, bukan berarti publik sudah tidak percaya lagi dengan kepolisian dalam memberantas terorisme. Hal ini dibuktikan dengan tingginya persentase responden (74 persen) yang yakin polisi (dalam hal ini Densus 88) mampu memberantas teroris sampai ke akar-akarnya.
Tak hanya itu, lebih banyak lagi responden (83 persen) juga masih yakin aparat kepolisian mampu memulihkan kondisi keamanan pasca teror bom. Tingginya kepercayaan publik terhadap aparat kepolisian dalam menjaga keamanan masyarakat ini menunjukkan, bahwa publik masih belum hilang kepercayaan terhadap kepolisian kendati polisi juga menjadi sasaran serangan bom.
Demikian, terkait dengan pemberian kewenangan lebih kepada aparat kepolisian dalam rangka pencegahan aksi terorisme, mayoritas (82 persen) responden setuju dengan aturan tersebut. Hal ini seperti yang tertuang dalam draft revisi RUU No. 15/2013 Pasal 31 yaitu polisi dapat menindak terduga teroris sebelum terbukti melakukan aksi termasuk melakukan penyadapan, dan penahanan.
Selain itu, publik pun juga setuju polisi diberi wewenang untuk memperpanjang masa penahanan terhadap terduga teroris dalam waktu yang cukup jika diperlukan untuk keperluan penyidikan. Seperti isi pasal 28 yang berbunyi : Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Tidak terpengaruh teror
Jajak pendapat Kompas kali ini juga menyingkap suasana psikologis publik pasca teror bom Surabaya. Sebagian besar (66 persen) responden saat ini masih merasa khawatir dengan situasi keamanan pasca teror bom, sementara mereka yang tidak khawatir hanya sebanyak 21 persen. Selain itu, sebagian besar responden juga masih khawatir terhadap kemungkinan ancaman teror bom kembali akan terjadi di masa datang.
Namun, meskipun rasa khawatir terhadap keamanan dan teror bom masih menghantui, hal itu tidak terlalu memengaruhi aktivitas mereka sehari-hari. Sebagian besar (59 persen) responden mengaku bahwa teror bom Surabaya tidak memengaruhi aktivitas mereka sehari-hari dalam bekerja ataupun bersekolah. Responden yang mengaku terpengaruh dan terpaksa mengurangi aktivitasnya ada 30 persen.
Hal yang cukup mengherankan adalah persentase responden yang bertempat tinggal di Surabaya yang mengaku tidak terpengaruh aktivitasnya pasca teror bom ternyata lebih besar dari pada persentase responden rata-rata di 14 kota di Indonesia. Teror bom yang mengguncang kota Surabaya ternyata tidak membuat takut dan cukup menggoyahkan warganya untuk tetap beraktivitas seperti biasa terutama dalam bekerja maupun bersekolah.
Bahkan, kendati teror bom di Surabaya menyerang beberapa gereja dan jemaatnya, namun mayoritas (81 persen) responden di Kota Surabaya mengaku tidak terpengaruh denga teror bom tersebut dan tetap pergi ke tempat ibadah seperti biasa.
Spanduk-spanduk yang menghiasi jalan-jalan di Surabaya yang bertuliskan “Suroboyo Wani”, “Suroboyo Gak Wedi”, “Teroris Jancuk!” merupakan cerminan simbol-simbol perlawanan warga terhadap teroris. Intinya, warga atau arek-arek Suroboyo tidak takut terhadap teroris. Semoga hal ini menjadi dorongan agar warga masyarakat dengan peran masing-masing ikut memerangi terorisme di negeri ini.