JAKARTA, KOMPAS — Setelah revisi Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disahkan, Dewan Perwakilan Rakyat akan segera membentuk tim pengawas pemberantasan terorisme. Keberadaan tim dinilai penting untuk mengawasi kewenangan penegak hukum dalam memberantas terorisme yang semakin dikuatkan melalui revisi undang-undang agar tak disalahgunakan di kemudian hari.
Pembentukan tim pengawas DPR tersebut tercantum dalam Pasal 43J revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Jumat (25/5/2018).
Dalam undang-undang itu tercantum bahwa DPR akan membentuk tim pengawas penanggulangan terorisme. Ketentuan mengenai pembentukan tim pengawas penanggulangan terorisme diatur dengan Peraturan DPR.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Erma Suryani Ranik saat dihubungi, Selasa (29/5/2018), mengatakan, dalam waktu dekat, pimpinan DPR akan mengundang alat-alat kelengkapan DPR yang tugasnya bersentuhan dengan pengawasan terhadap penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana terorisme. Mereka akan membahas beberapa aspek implementasi Undang-Undang Antiterorisme, termasuk pembentukan tim pengawas tersebut.
Rapat ini semula diagendakan pada Senin (28/5/2018), dengan mengundang Komisi I yang membidangi pertahanan dan Komisi III yang membidangi keamanan. Namun, rapat ditunda karena berbenturan dengan agenda lain dari pimpinan DPR sehingga akan diadakan pekan depan. ”Saat ini, teknis detail pembentukan tim pengawas masih kami bahas,” kata Erma.
Pembentukan tim pengawas ini penting karena segera setelah revisi disahkan, aparat penegak hukum akan bekerja berdasarkan aturan di undang-undang itu. Mengingat kewenangan dari aparat yang lebih kuat dan luas dalam undang-undang untuk menanggulangi dan memberantas terorisme, hal itu harus dibarengi pula dengan pengawasan yang lebih ketat.
”Ini penting supaya penguatan kewenangan dan implementasinya di lapangan kelak dibarengi prosedur yang transparan dan akuntabel sehingga mencegah aparat melanggar hak asasi manusia saat memberantas terorisme,” ujar Ketua Komisi I dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Abdul Kharis Almasyhari.
Tim pengawas nantinya, menurut Kharis, termasuk mengawasi Tentara Nasional Indonesia jika TNI dilibatkan dalam pemberantasan terorisme. Sebab, pelibatan TNI dimungkinkan dalam revisi UU Antiterorisme yang detail teknisnya akan diatur dalam peraturan presiden yang drafnya tengah dibahas Kementerian Pertahanan dan TNI dan akan dikonsultasikan ke DPR, Juli mendatang.
”Bahkan, agar pengawasan terhadap TNI dipastikan ada, lebih baik aspek pengawasan pada TNI yang terlibat menangani terorisme disebutkan pula dalam peraturan presiden yang mengatur lebih lanjut soal pelibatan TNI dalam memberantas terorisme,” katanya.
Selain itu, tim pengawas juga akan mengawasi upaya pencegahan yang dilakukan pemerintah, Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT), dan penegak hukum. Pencegahan, menurut Kharis, tetap harus dikedepankan daripada penindakan.
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, kewenangan aparat yang lebih kuat dalam memberantas terorisme harus dibarengi pula dengan pengawasan yang lebih ketat. Ini penting supaya aparat tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya.
Untuk itu, menurut Hendardi, pengawasan tidak cukup hanya diberikan kepada tim pengawas DPR. ”DPR ini, kan, lembaga politik sehingga wajar jika muncul kekhawatiran pengawasan akan didasarkan pada kepentingan-kepentingan politik,” ujarnya lagi.
Pengawasan sebenarnya akan lebih optimal jika ada komisi atau badan independen yang anggotanya dari luar instansi penegak hukum. Dengan demikian, hasil pengawasan bisa lebih akuntabel. Usulan pembentukan komisi ini pernah dimunculkan saat pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan pekan lalu.
”Usulan itu memang tidak diakomodasi di dalam revisi, tetapi bukan berarti komisi independen tak bisa dibentuk. Bisa saja polisi yang melahirkan komisi tersebut,” ujarnya.
Buku putih
Opsi lain, menurut Hendardi, bisa juga dengan mengadopsi praktik yang dilakukan sejumlah negara lain, yaitu aparat penegak hukum diwajibkan menulis semacam buku putih. Buku putih berisi perjalanan operasi-operasi pemberantasan terorisme.
Buku putih ini bisa dijadikan pegangan bagi atasan dari pemimpin operasi untuk melakukan pengawasan. Tak sebatas itu, dalam rentang waktu tertentu, buku putih tersebut bisa dibuka ke publik sehingga publik bisa ikut mengawasinya.
Pentingnya pengawasan itu, Hendardi melanjutkan, termasuk bagi TNI yang bisa dilibatkan dalam operasi pemberantasan terorisme. Untuk itu, bisa saja unsur pengawasan terhadap TNI dan akuntabilitas TNI dalam pemberantasan terorisme disinggung pula dalam peraturan presiden yang diamanatkan oleh undang-undang akan mengatur lebih lanjut soal pelibatan TNI.
”Harus dipahami bahwa dalam pemberantasan terorisme ini, TNI akan bergerak di arena sistem peradilan pidana sehingga TNI harus mengikuti aturan-aturan hukum pidana yang ada,” ujarnya.
Atas dasar itu pula, dia mendorong agar pemerintah dan DPR segera merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Jadi, kelak, anggota TNI yang melanggar hukum saat menangani terorisme atau pelanggaran lain yang berkaitan dengan publik bisa diadili di peradilan umum, dan tidak lagi di peradilan militer seperti praktik yang selama ini berlaku.