Masuknya sejumlah pasal di UU Tipikor ke RUU KUHP dapat mengancam pemberantasan korupsi. Selain sanksi di RUU KUHP lebih ringan, UU Tipikor juga berpotensi ditinggalkan.
Jakarta, Kompas Masuknya sejumlah pasal di Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ke Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjadi sebuah kemunduran dalam pemberantasan korupsi. Langkah itu bahkan mengancam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ada empat pasal di UU No 31/1999 yang diperbarui dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang masuk ke RUU KUHP. Keempat pasal itu adalah Pasal 2, 3, 5, dan 11. Pasal-pasal itu mengatur tentang bentuk korupsi berikut sanksinya, yaitu maksimal 20 tahun penjara atau pidana mati.
Pengajar hukum pidana Universitas Indonesia, Achyar Salmi, Sabtu (2/6/2018), saat dihubungi dari Jakarta, menilai, masuknya pasal di UU Tipikor ke RUU KUHP itu sebagai kemunduran. Sejak tahun 1957 ketentuan tentang pidana korupsi selalu diatur tersendiri di luar KUHP.
Tahun 1957, misalnya, ada peraturan penguasa perang pusat yang mengatur soal pidana korupsi. Kemudian, tahun 1960 keluar UU No 24/1960 yang direvisi menjadi UU No 3/1971. Selanjutnya, pasca reformasi, ada Tap MPR yang dikeluarkan tahun 1998 dan UU No 31/1999 yang lalu direvisi jadi UU No 20/2001.
Pengaturan di luar KUHP ini dilakukan karena korupsi merupakan tindak pidana khusus (tipidsus) sehingga perlu penanganan khusus. Sebagai contoh, di UU Tipikor, koruptor bisa dijerat dengan dua hukuman pokok, misal penjara dan denda. Adapun di KUHP, prinsip pidana umum yang berlaku adalah dua hukuman pokok tak bisa diakumulasikan. Contoh lain, ancaman pidana di UU Tipikor yang selalu lebih berat daripada di KUHP. ”Aturan khusus itu dibuat untuk menciptakan efek jera pada koruptor,” katanya.
Keuntungan lain, dengan diatur di UU tersendiri, akan lebih mudah direvisi. Revisi ini dibutuhkan karena modus korupsi terus berubah. ”Sementara KUHP seharusnya didesain untuk bertahan lama, tak berubah setiap saat. Oleh karena itu, untuk kejahatan yang modusnya terus berkembang, seperti korupsi, narkotika, den terorisme, masuk kategori tipidsus dan ada di luar KUHP,” ujarnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari khawatir masuknya sejumlah ketentuan
di UU Tipikor ke RUU KUHP suatu ketika akan dijadikan landasan untuk mengurangi kekuatan atau bahkan menghapus UU Tipikor
Sebelumnya, Ketua Tim Panitia Kerja RUU KUHP Pemerintah Enny Nurbaningsih mengatakan, masuknya empat pasal UU Tipikor ke RUU KUHP tidak akan melemahkan pemberantasan korupsi dan KPK. Ini karena empat pasal yang dimasukkan hanya tindak pidana pokok dari tipikor dan ini merupakan bagian dari keinginan pemerintah menjadikan KUHP kelak berisi seluruh tindak pidana di Indonesia.
Menurut dia, ancaman pidana di RUU KUHP yang maksimal 15 tahun penjara memang seberat seperti yang diatur di UU Tipikor. Namun, hal itu masih dibahas.
Secara terpisah, Sustira Dirga dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengingatkan, semua UU yang bersifat khusus terancam akan ditinggalkan setelah RUU KUHP resmi berlaku menjadi UU.
Kekhawatiran ini muncul karena di Pasal 723 revisi KUHP dinyatakan, dalam jangka waktu satu tahun sejak UU itu dinyatakan berlaku, akan menjadi dasar bagi ketentuan pidana di luar UU ini. (APA/MHD)