JAKARTA, KOMPAS – Elemen masyarakat sipil yang tergabung ke dalam tim Advokasi Kitab Undang-undang Hukum Pidana Berbahasa Indonesia Resmi menggugat pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan dilakukan karena pemerintah dinilai lalai dengan tidak membuat terjemahan resmi KUHP. Kelalaian ini berujung pada tafsir dan pemaknaan yang berbeda-beda dalam praktik hukum pidana.
Tidak adanya terjemahan resmi dari KUHP itu juga membuat pembahasan Rancangan KUHP yang saat ini tengah digodok pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karut marut, serta tidak jelas rujukan terjemahan mana dari KUHP yang dipakai. Selama ini, ada berbagai terjemahan KUHP yang tidak resmi dan dirujuk secara berbeda-beda oleh ahli hukum dengan preferensi dan latar belakang masing-masing.
“Pemerintah yang tidak membuat terjemahan KUHP itu telah melanggar hukum, sebab ada ketentuan yang menyatakan semua UU itu harus menggunakan Bahasa Indonesia. Dari pengalaman kami di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mendampingi masyarakat pencari keadilan, tidak adanya terjemahan itu membuat banyak sekali perbedaan tafsir,” kata Muhammad Isnur, Koordinator Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jumat (8/6/2018) di Jakarta.
Sedikitnya ada empat terjemahan tidak resmi KUHP yang kerap dirujuk oleh ahli dan praktisi hukum di Indonesia, yakni yang dibuat oleh ahli pidana R Soesilo, Prof Moeljatno, Prof Andi Hamzah, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
“Dengan perbedaan KUHP hasil terjemahan dari para pakar hukum itu, konsekuensinya akan memiliki penafsiran yang berbeda antara satu pakar dengan pakar lainnya. Dengan demikian, bagaimana kita dapat memiliki kepastian dan keselarasan hukum khususnya penerapan hukum pidana yang bersifat sangat materil,” kata Isnur.
Di sisi lain, saat ini pemerintah dan DPR juga sedang menggodok RKUHP yang rujukannya adalah KUHP yang belum ada terjemahan resminya. “Pertanyaannya, perumus RKUHP ini memakai terjemahan yang mana, dan bagaimana pula pertanggungjawabannya karena KUHP itu bukan terjemahan resmi yang ditetapkan negara,” urainya.
Elemen masyarakat sipil yang mengajukan gugatan, yakni YLBHI, LBH Masyarakat, dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dalam gugatannya meminta pengadilan agar menyatakan pemerintah lalai dalam membuat terjemahan resmi KUHP. Dengan demikian, otomatis pembahasan RKUHP semestinya gugur, karena pembaharuan UU itu didasarkan kepada suatu UU yang tidak berbahasa Indonesia, atau belum ada terjemahan resminya.
“Dalam provisi, kami meminta pengadilan agar memerintahkan penundaaan pembahasan RKUHP sampai dibuat adanya KUHP dengan terjemahan resmi,” ujar Isnur.
Ditemui sebelumya, Kepala BPHN Enny Nurbaningsih mengatakan, pemerintah dan DPR mendorong pembahasan RKUHP itu agar diselesaikan dalam periode DPR saat ini. Alasannya, bila pembahasan RKUHP itu tidak diselesaikan di periode DPR sekarang, tidak ada jaminan pembahasan itu akan diteruskan pada DPR di periode selanjutnya.
Opsi untuk membatalkan atau menuda pembahasan tidak menjadi pilihan pembuat UU mengingat besarnya biaya dan tenaga yang telah dikeluarkan negara melalui serangkaian seminar, diskusi, studi kasus, hingga riset sejak tahun 2015. Gagasan untuk membuat revisi KUHP itu bahkan sudah muncul sejak tahun 1963.
“Tidak ada carry over dalam pembahasan RKUHP ini pada DPR periode selanjutnya. Oleh karena itu, harus dituntaskan pada periode saat ini. Jika tidak, akan sia-sia semua pekerjaan, semua tenaga, dan biaya yang telah dikeluarkan oleh negara dalam pembahasan RKUHP ini sejak tahun 2015. Sebab, semua akan mulai dari nol lagi,” kata Enny.