Teladan Ketahanan Pangan dari Walisongo
Kecerdasan dalam mengelola potensi pangan di lingkungan sekitar sudah dicontohkan oleh para pendahulu. Di tengah munculnya tantangan dalam mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan, nilai-nilai kearifan lokal di masyarakat bisa menjadi inspirasi.
Aroma kuah oncom yang segar menyeruak di Warung Lasminah (55) di Jalan Kesambi, Kota Cirebon, Jawa Barat. Kuah itu dituang di atas piring berisi potongan daun singkong, taoge, lontong, dan parutan kelapa. Terakhir, hidangan ditambahi dengan kerupuk aci.
Itulah docang, makanan yang tak kalah pamornya jika dibandingkan dengan nasi jamblang atau empal gentong.
”Kalau bukan orang Cirebon, mungkin akan sulit menikmati docang. Biarpun kata orang tidak enak, atau aneh, ini masakan khas Cirebon,” kata Lasminah yang sudah berjualan docang selama hampir 30 tahun, Kamis (31/5/2018). Sewaktu ia kecil, nenek Lasminah pun berjualan docang.
Docang di kalangan masyarakat Cirebon dan sekitarnya, termasuk Indramayu, dikenal sebagai makanan rakyat yang murah meriah. Biasanya penjual docang berkeliling dengan menggelar tebok (nampan) di pasar dan pusat keramaian. Menjelang malam hingga dini hari, para penjual docang melayani konsumen yang umumnya pedagang pasar. Saat mata sedikit mengantuk, menyeruput kuah oncom hangat sembari menikmati gurihnya kerupuk aci menjadi keasyikan tersendiri.
Asal-usul
Lasminah mengingat, neneknya kerap bercerita bahwa docang adalah sisa-sisa makanan para wali atau walisongo. Para penyebar Islam di Nusantara itu diceritakan tidak habis memakan makanan seusai mereka bertemu atau berkumpul di Cirebon. Sisa-sisa makanan wali itu dipungut oleh pengikut mereka dan diolah kembali. Dengan mengonsumsi sisa makanan wali, pengikut mereka memercayai akan memperoleh pertolongan dari wali.
Kepercayaan itu masih ada sampai sekarang. Setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, banyak penjual docang di sekitar Keraton Cirebon. Berkah dan kebaikan diyakini datang bagi siapa saja yang makan docang.
Ada juga yang mengatakan, docang awalnya dibuat oleh Ki Gede Bungko, seorang pendekar yang juga pengikut Sunan Gunung Jati, salah seorang wali. Dikisahkan, Sunan Gunung Jati meminta Ki Gede Bungko dan istrinya menyediakan makanan bagi tamu. Ki Gede Bungko menerima tugas itu meski bingung akan menyajikan makanan apa. Semua makanan pernah disajikan, padahal Sunan Gunung Jati meminta makanan yang berbeda.
”Ki Gede Bungko akhirnya mengolah makanan dengan memanfaatkan bahan-bahan di sekitar rumahnya. Ia memasak beras yang diolah menjadi lontong, singkong yang diambil daunnya, taoge, kacang yang dibodo (dibacem), dan kelapa diparut,” kata budayawan Cirebon, Raffan S Hasyim.
Nama docang diambil dari bodo kacang atau kuah kacang (kedelai) yang dibacem. Bodo kacang itu disingkat menjadi docang. Ketika disajikan untuk Sunan Gunung Jati dan tamunya, makanan sederhana itu dipuji karena enaknya.
Versi lainnya menyebutkan, docang adalah makanan sampah atau sisa yang sengaja dibuat oleh musuh Sunan Gunung Jati untuk meracuni para wali. Namun, bukannya membuat para wali yang sedang berkumpul itu mati, melainkan makanan sisa atau sampah itu malah disukai para wali. Makanan itu pun dengan cepat populer di antara rakyat sebagai makanan para wali.
Dari beberapa versi cerita tentang docang, menurut Raffan, terdapat satu pesan utama, yakni kecerdasan mengelola pangan. Ketahanan pangan bisa diperoleh dengan memanfaatkan aneka pangan yang beragam di lingkungan sekitar. Makanan tidak harus mewah atau mahal, asalkan mencukupi kebutuhan nutrisi.
”Makanan itu merepresentasikan kekayaan pangan Cirebon. Di dalam docang terkandung beberapa jenis makanan, seperti padi yang digambarkan dengan lontong, sayuran dan umbi-umbian yang digambarkan dengan daun singkong, benih dan kacang-kacangan yang disimbolkan dengan oncom dan taoge, serta kelapa,” papar Raffan.
Lumbung padi
Pesan di balik sejumlah kisah tentang docang itu masih relevan jika menilik data produksi pangan di Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan, serta kawasan pesisir utara lainnya, seperti Karawang, dan Subang. Wilayah-wilayah itu merupakan lumbung padi Jabar.
Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Jabar menunjukkan, enam kabupaten itu menyumbang 5.220.038 ton gabah bagi Jabar, tahun 2017. Total produksi gabah Jabar, tahun 2017, ialah 12.326.328 ton.
Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jabar Entang Sastraatmadja mencatat, Jabar menyumbang 20 persen produksi beras nasional. Dengan kekayaan alam dan kesuburan lahannya, potensi pangan Jabar seharusnya bisa mengungkit kesejahteraan masyarakat, utamanya petani. Sayangnya, daerah-daerah penghasil pangan di Jabar justru merupakan daerah miskin atau memiliki indeks pembangunan manusia yang rendah.
”Istilah petani sebagai penyumbang kemiskinan harus dihapuskan. Sudah seharusnya konsepsi soal petani itu bukan buruh tani atau petani gurem, melainkan pengusaha pertanian. Dengan menempatkan petani sebagai pengusaha pertanian, perlakuan terhadap petani harus berubah, disamakan dengan pengusaha, yakni dengan memudahkan akses kredit dan permodalan,” kata Entang.
Kontestasi pilkada tahun ini diharapkan menjadi ajang bagi para calon pemimpin di Jabar untuk menunjukkan kepedulian pada sektor pertanian. Dua persoalan pokok dalam ketahanan pangan ialah maraknya alih fungsi lahan dan lambatnya regenerasi petani. Tanpa keberpihakan pada sektor ini, swasembada pangan dan peningkatan kontribusi Jabar pada pangan nasional akan selalu menjadi ilusi.