JAKARTA, KOMPAS — Isi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana masih menuai sejumlah perdebatan. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah tidak perlu terburu-buru membahas dan kemudian mengesahkan RUU itu menjadi UU.
”Kita tidak butuh suasana pembahasan yang terburu-buru, apalagi mengabaikan kualitas. Justru kita ingin proses yang berkualitas, partisipatif, yang menghasilkan RUU KUHP yang juga berkualitas. Ini menyangkut demokrasi, pemberantasan korupsi, dan perlindungan kebebasan sipil,” kata peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Miko S Ginting, dalam diskusi bertema ”Mendorong RUU KUHP yang Pro Pemberantasan Korupsi” di Sekretariat Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Minggu (10/6/2018).
Turut hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan; peneliti Divisi Monitoring Peradilan ICW, Lalola Easter; dan peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Adery Ardhan Saputro.
Ketua DPR Bambang Soesatyo menuturkan, RUU KUHP diharapkan dapat disetujui DPR untuk disahkan menjadi UU pada Agustus.
Menurut Miko, pemerintah dan DPR perlu melakukan uji dampak atau uji implikasi sebelum RUU KUHP itu disahkan agar tidak ada kepentingan lain yang mencoba masuk dalam RUU tersebut.
Hal itu dibutuhkan terutama karena kini masih ada sejumlah ketentuan di RUU itu yang memancing perdebatan publik.
Abdul Manan menuturkan, sejumlah pasal di RUU KUHP masih multitasfir. Hal itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 238 yang mengatur tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, Pasal 259 yang mengatur tentang pernyataan permusuhan kepada pemerintah, serta Pasal 380 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.
Menurut Manan, pasal-pasal penghinaan di RUU KUHP tersebut sangat mungkin menjadi pasal karet karena penilaiannya bisa sangat subyektif.
Lalola Easter menambahkan, Pasal 303 Huruf c di RUU KUHP yang melarang menghina hakim atau menyerang integritas hakim berpotensi mengancam kebebasan bagi pegiat antikorupsi. Khususnya saat mereka mengkritisi kasus korupsi di lembaga negara dan peradilan.
”Padahal, masih banyak masalah di internal peradilan dan lembaga-lembaga negara,” kata Lalola.