JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi akan bertemu dengan Presiden Joko Widodo untuk membahas masuknya delik korupsi ke dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana seusai libur Lebaran. KPK berharap pertemuan itu bisa menghasilkan jalan keluar atas perbedaan pendapat antara KPK dan pemerintah mengenai persoalan tersebut.
”KPK menyambut baik pernyataan Presiden yang akan menyediakan waktu bertemu KPK setelah Lebaran ini khusus membahas RKUHP. Kami percaya Presiden telah banyak mendengar penjelasan dari berbagai pihak terkait, termasuk tim perumus. Kami juga percaya komitmen Presiden terhadap pemberantasan korupsi masih kuat,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa (12/6/2018).
Sejak awal pembahasan RKUHP berlangsung, sikap KPK tidak pernah berubah. Penolakan terhadap masuknya tindak pidana khusus, terutama tindak pidana korupsi dalam perubahan undang-undang ini, dilandasi kekhawatiran tereduksinya upaya pemberantasan korupsi dan kewenangan KPK dalam menangani tindak pidana korupsi.
Ketentuan Pasal 729 RKUHP yang disebut dapat menyelesaikan masalah tentang kekhususan aturan tindak pidana korupsi, katanya, tetap tidak menyelesaikan masalah. Begitu pula dengan argumentasi keberadaan Pasal 14 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dapat menjadi jembatan bagi KPK untuk menangani perkara korupsi tetap sukar diterapkan.
”Kami belum mengetahui apakah risiko dan ancaman terhadap pemberantasan korupsi ini juga disampaikan tim perumus di sana (di Istana) atau tidak. Namun, yang pasti, setelah kami kaji cukup lama dan membahas kembali setelah mendengar penjelasan dari tim pemerintah, KPK semakin yakin bahwa ada persoalan serius dengan RKUHP saat ini, khususnya terhadap kewenangan KPK dan pemberantasan korupsi,” tutur Febri.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, menyampaikan hal senada. Risiko terlalu besar saat memasukkan tindak pidana korupsi ke dalam RKUHP.
”Ini polemik klasik dalam kodifikasi RKUHP tentang delik tipikor. Sebaiknya dibuat pengaturan dalam RKUHP, bisa lewat ketentuan atau aturan peralihan. Atau sekadar memasukkan pasal untuk menjembatani tanpa perlu memindahkan pasal di tipikor ke KUHP,” ujar Indriyanto.
Ini polemik klasik dalam kodifikasi RKUHP tentang delik tipikor. Sebaiknya dibuat pengaturan dalam RKUHP, bisa lewat ketentuan atau aturan peralihan. Atau sekadar memasukkan pasal untuk menjembatani tanpa perlu memindahkan pasal di tipikor ke KUHP.
Secara terpisah, mantan hakim dan dosen hukum di Universitas Parahyangan, Asep Iwan Iriawan, menyatakan, pemerintah tidak perlu repot dalam menghadapi persoalan ini. Sejumlah pasal tindak pidana khusus, termasuk tindak pidana korupsi tersebut, cukup dikeluarkan dari RKUHP.
”Itu cara yang paling mudah, tapi tidak dilakukan,” ujar Asep.