Proses Rehabilitas Psikologis dan Pembinaan Anak Korban Pelaku Terorisme Dilanjutkan
Oleh
Mahdi Muhammad dan Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Sosial memulai tahap lanjutan dari upaya rehabilitasi psikologis dan ideologis serta membina kembali anak-anak para pelaku teror di Surabaya, beberapa waktu lalu. Penilaian awal akan terus dilakukan untuk menentukan upaya pembinaan dan rehabilitas psikologis maupun ideologi pada masing-masing anak.
Tujuh orang anak pelaku teror, yang usianya berada pada rentang 6-15 tahun, diterbangkan oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur dengan pengawalan Detasemen Khusus 88 Antiteror dan beberapa staf Direktorat Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial dari Surabaya ke Jakarta, Selasa (12/6). Idrus Marham dan beberapa staf Kementerian Sosial, kementerian yang bertanggung jawab untuk melaksanakan proses rehabilitasi dan pembinaan bagi anak-anak tersebut menjemput langsung di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Selasa petang.
“Mereka akan dibina lebih lanjut oleh tim kami. Mereka adalah korban jaringan teroris. Mereka mayoritas tidak paham apa-apa,” kata Idrus.
Pascapengeboman tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, pertengahan Mei lalu, sebanyak tujuh anak dirawat di RS Bhayangkara Polda Jatim. Anak-anak tersebut, yang dikatakan Idrus merupakan Korban dari tindakan orang Tuanya yang melibatkan Mereka dalam serangkaian tindakan teror di Surabaya, terdiri dari tiga anak terduga teroris yang bomnya meledak di Rusun Wonocolo Sidoarjo, tiga anak terduga teroris yang ditangkap di Jalan Sikatan kemarin, dan satu orang anak yang berhasil diselamatkan oleh petugas kepolisian saat orang Tuanya menyerang markas Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya.
Pemerintah, berdasarkan pasal 59 A Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, memiliki kewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak. Perlindungan Khusus kepada Anak sesuai UU Nomor 35 Tahun 2014 diberikan kepada 15 katagori di antaranya anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual dan anak korban jaringan terorisme. Tujuh orang anak ini masuk dalam kategori terakhir, menurut Idrus.
“Mereka emmiliki hak untuk dibina, memiliki hak untuk hidup, tumbuh berkembang dan mendapatkan pendidikan dan secara sungguh2 dipelihara dan diperhatikan oleh negara,” kata dia.
Setelah upaya rehab medis selesai dilakukan oleh tim kepolisian, selanjutnya hal yang ditangani oleh tim Rehabilitasi Sosial Anak Ditjen Rehabilitas Sosial Kemensos adalah mengembalikan Kepercayaan diri anak serta mengikis kemungkinan paham-paham radikal yang pernah disampaikan atau diajarkan oleh orang tua mereka. Idrus yang sempat berbincang dengan mereka mengatakan, ketujuh anak tersebut bersikap normal selayaknya anak-anak. Tertawa dan ceria. Meski, setelah itu mereka kembali termenung.
“kita perlu dampingi Mereka terus menerus. Kita harus pastikan mereka bersih dari paham-paham radikalisme itu nantinya,” kata dia.
Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Ditjen Rehabilitasi Sosial Nahar menjelaskan, hasil Pengamatan awal selama satu bulan terakhir, bersamaan dengan proses rehabilitasi medis yang dilakukan oleh kepolisian, anak-anak tersebut ada yang terpapar ideologi bawaan orang tua yang cukup tajam. Meski begitu, dengan usia yang masih sangat muda, dalam satu bulan terakhir interaksi tim rehabilitasi sosial anak Kemensos, menurut Nahar, ada beberapa perubahan yang positif dari mereka.
Pendampingan terhadap anak-anak tersebut menurut Nahar harus terus diintensifkan sekaligus untuk memastikan rehabilitasi psikologis dan ideologis bisa memberikan dampak yang positif. Nahar belum bisa memastikan berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh masing-masing anak untuk kembali hidup normal. “Namun, biasanya satu hingga tiga bulan. Tapi ada juga yang bisa lebih dari tiga bulan,” kata dia.