Perbedaan Tafsir mengenai Praperadilan Timbulkan Kebingungan
Oleh
Riana A Ibrahim
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perbedaan tafsir dalam menyikapi praperadilan di kalangan hakim menimbulkan kebingungan. Perkara dugaan korupsi dana pensiun PT Pertamina dengan terdakwa Direktur Ortus Holding Ltd Edward Seky Soeryadjaya terus berlanjut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta meski penyidikan perkara itu dianggap tidak sah dan status tersangka Edward gugur berdasarkan putusan praperadilan.
Saat ini, Kejaksaan Agung tengah menyiapkan saksi-saksi untuk dihadirkan di persidangan pada 27 Juni 2018.
Jaksa Agung HM Prasetyo di Jakarta, Rabu (13/6/2018), mengapresiasi majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta yang tetap melanjutkan perkara. Pengadilan Tipikor juga menolak eksepsi Edward dalam putusan sela yang dibacakan 6 Juni lalu.
”Itu sudah semestinya karena berkas perkaranya sudah dilimpahkan sebelum praperadilan diputus,” ujar Prasetyo.
Putusan sela itu sempat diwarnai dengan dissenting opinion atau pendapat berbeda dari satu anggota majelis hakim Djoko Subagyo. Menurut Djoko, perkara Edward semestinya tidak dilanjutkan berlandaskan putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, empat hakim lainnya tak sependapat dan menilai dakwaan yang disampaikan jaksa sesuai KUHAP.
Achmad Guntur dari Humas PN Jakarta Selatan menyampaikan, berkas praperadilan Edward didaftarkan pada 26 Maret 2018. Sidang pertamanya dimulai pada 9 April 2018, tetapi ditunda sepekan karena kejaksaan tidak hadir. Saat memasuki sidang ketiga praperadilan pada 18 April 2018, kejaksaan melimpahkan berkas pokok perkaranya ke Pengadilan Tipikor Jakarta. Jadwal sidang pokok perkara ditentukan dua hari kemudian.
Pada 23 April 2018, hakim tunggal Aris Bawono mengabulkan praperadilan Edward karena menilai gugurnya praperadilan saat sidang pertama dimulai ditandai pembacaan dakwaan. Ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/ PUU-XIII/2015 yang kemudian diikuti oleh hakim tunggal Kusno saat menangani praperadilan kedua Setya Novanto.
Selama ini, permohonan praperadilan selalu gugur saat berkas pokok perkaranya masuk ke pengadilan tanpa menunggu dakwaan dibacakan. Ketua majelis hakim dalam perkara pokok Edward, Sunarso, juga memiliki pandangan ini sehingga sidang Edward tetap dilanjutkan.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, menilai praperadilan gugur jika berkas sudah diperiksa PN, tak harus menunggu sidang perdana. Pasal 82 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) seharusnya diartikan saat perkara dilimpahkan dan menjadi otoritas pengadilan, praperadilan harus dinyatakan gugur demi hukum.
“Frasa kalimat (dalam Pasal 82 KUHAP) itu tidak bisa diartikan setelah sidang pertama. Jadi, dalam kasus Edward seharusnya dengan pelimpahan perkara itu ke PN, maka pengadilan harus memutuskan praperadilan Edward gugur demi hukum saat putusan,” ujar Indriyanto.
Hukum acara
Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun menilai, Mahkamah Agung perlu mengeluarkan hukum acara praperadilan. Regulasi ini penting agar tidak menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat. Usulan serupa pernah disampaikannya juga pada 2015, saat MK memperluas obyek praperadilan.
Mahkamah Agung perlu mengeluarkan hukum acara praperadilan. Regulasi ini penting agar tidak menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat
Komisioner Komisi Yudisial Farid Wajdi juga berpendapat senada. “Pada konteks itu sepatutnya MA mengeluarkan panduan untuk para hakim dalam menafsirkan hukum lebih khusus lagi saat penanganan perkara praperadilan,” ujar Farid.
Arsil dari Lembaga Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) justru menilai tak perlu adanya aturan.
“Permasalahan ini cukup dimasukkan dalam pertimbangan kasasi, apakah menurut MA dalam perkara seperti ini memang seharusnya perkara gugur karena praperadilan atau tidak. Putusan kasasi tersebut akan menjadi acuan atas permasalahan serupa ke depannya nanti. Tidak semua permasalahan harus dibuat aturannya secara langsung. Perlu dibudayakan pembangunan hukum melalui yurisprudensi,” tutur Arsil.