BLITAR, KOMPAS — Haul dari proklamator sekaligus presiden pertama Indonesia, Bung Karno, yang selalu diperingati setiap tahun, bukan ditujukan untuk mengultuskan Bung Karno. Haul hendaknya dimanfaatkan untuk mengenang dedikasi dan pengabdian Bung Karno, juga merawat hasil perjuangan Bung Karno.
”Sebagai Muslim, Bung Karno berulang kali menegaskan, ’Jangan aku dikultusindividukan’, tetapi yang harus kita kenang dari beliau adalah dedikasi dan pengabdiannya kepada Tuhan, bangsa, dan negara,” ujar putri Bung Karno yang juga Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri saat peringatan Haul Ke-48 Bung Karno, di Blitar, Jawa Timur, Rabu (20/6/2018).
Peringatan haul Bung Karno selama ini menjadi tradisi rutin yang digelar setiap tahun di makam Bung Karno di Blitar. Peringatan selalu digelar bertepatan atau berdekatan dengan tanggal wafatnya Bung Karno, 21 Juni 1970.
Pada haul ke-48 ini, selain Megawati, hadir pula sejumlah jajaran pengurus PDI-P dan cucu Bung Karno yang kini menjadi calon wakil gubernur Jawa Timur, Puti Guntur Soekarno.
Hadir juga Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj, anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Mahfud MD, serta sejumlah menteri Kabinet Kerja, antara lain Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, dan Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan.
Selain itu, hadir pula Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar dan para menteri dari PKB, yaitu Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, serta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo. Juga hadir calon gubernur Jatim yang berpasangan dengan Puti yang juga kader PKB, Saifullah Yusuf.
Salah satu yang perlu dikenang dari Bung Karno, menurut Megawati, adalah keyakinannya untuk pantang menyerah saat mengemban amanah atau tujuan tertentu. ”Beliau bercerita, saya ikhlas dibuang dan dipenjara karena saya yakin suatu saat kita akan punya negara dan bangsa,” ujarnya.
Hal lain, bagaimana Bung Karno menggali Pancasila dari apa yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, Bung Karno tidak pernah mengatakan dirinya yang membuat Pancasila.
Bung Karno juga mampu menjadi pemimpin yang menyintesiskan nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai kebangsaan, yang kemudian dikonseptualisasi dalam Pancasila.
Selain itu, Megawati mengingatkan, Bung Karno, saat Konferensi Islam Asia Afrika digelar pada 14 Maret 1965, pernah mendapat gelar pahlawan kemerdekaan dan pembebas bangsa Islam. Hal ini atas jasanya menggerakkan dan menggelorakan arti penting kemerdekaan kepada bangsa lain.
Relasi Sukarnois-nahdiyin
Selain itu, menurut Megawati, tradisi haul Bung Karno juga menjadi momentum mengenang eratnya relasi Sukarnois dan warga nahdliyin atau Nahdlatul Ulama (NU). Relasi terjalin sejak masa perjuangan kemerdekaan ketika Bung Karno berjuang bersama para tokoh Islam Nusantara, di antaranya dari NU, seperti KH Hasyim Asyari, KH Abdul Wahab Hasbullah, dan KH Wahid Hasyim.
Bahkan saat Bung Karno wafat dan setelah wafatnya, juga saat Bung Karno hendak ditempatkan dalam sudut gelap sejarah oleh pemerintahan Soeharto, relasi ini tetap erat. Salah satunya tampak saat warga nahdliyin bersama kaum Sukarnois tak gentar, tetap memperingati haul Bung Karno setiap tahun.
”Maka tradisi haul yang terus digelar setiap tahun ini, yang dijaga oleh keluarga besar nahdliyin dan kaum Sukarnois, berarti menjaga pula keindonesiaan kita,” katanya.
Oleh karena itu, setiap kali haul Bung Karno digelar, termasuk pada haul ke-48 ini, NU dan PKB sebagai wadah penyaluran aspirasi politik NU turut serta memperingatinya.
Said Aqil Siroj dalam pidatonya pun memaparkan kedekatan NU dengan Bung Karno dan Sukarnois. Kedekatan yang tetap harus dijaga dalam mengatasi masalah bangsa yang kompleks. ”Mengatasi masalah-masalah bangsa tidak bisa hanya bergantung kepada satu kelompok saja. Keduanya harus bersatu, nasionalis dan santri harus bergandengan,” lanjutnya.
Haul Bung Karno selain digunakan untuk mendoakan Bung Karno, menurut Aqil, juga hendaknya dimanfaatkan oleh generasi penerus untuk mengingat hasil perjuangannya. Tak sebatas itu, hasil perjuangannya, berupa kemerdekaan Indonesia, harus dijaga dan dirawat. ”Kemerdekaan secara geografi, politik, ekonomi, dan terutama budaya harus dirawat dan dijaga,” ujarnya.