Kisah tentang Alif yang Menolak Diam
Kesadaran mengenai bahaya korupsi di kalangan anak muda masih perlu ditingkat. Film menjadi salah satu sarana untuk memupuk kesadaran itu sekaligus mendorong mereka menginternalisasi nilai kejujuran.
Sebuah pengumuman di majalah dinding sekolah membuat Alif gusar. Matanya tertuju tajam pada surat yang ditandatangani Kepala Sekolah SMA 1 Luhur, Yogyakarta, itu yang menyatakan tidak akan ada wisuda untuk lulusan 2008/2009. Geram. Ia pun menarik kertas itu dan membawanya ke hadapan Bondan, Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah.
”Bondan, apa maksudnya ini?” kata Alif dengan muka masam. Kertas itu dilempar di hadapan Bondan yang sedang bermain gim di komputernya. Bondan terkaget dengan protes seniornya yang sebentar lagi menghadapi ujian nasional itu. Bondan pun mengaku tak tahu mengapa ada pengumuman semacam itu.
Alif, yang berpengalaman sebagai Ketua OSIS SMA 1 Luhur, terusik. Selama tiga tahun bersekolah, setiap bulan orangtuanya dimintai uang Rp 30.000 untuk biaya wisuda dan keperluan lain, termasuk memenuhi kebutuhan fasilitas belajar. Ada 300 siswa di angkatannya. Jika dihitung-hitung, total sekitar Rp 300 juta terkumpul untuk biaya wisuda. Itu baru dari siswa satu angkatan. Uang sebanyak itu ke mana larinya?
Dengan mengajak Bondan yang sedikit penakut, Nisa yang kritis, dan Dito yang santai karena bapaknya penyumbang terbesar sekolah, Alif mempertanyakan detail anggaran itu kepada dua gurunya, Pak Ridwan dan Bu Retno. Bukannya mendapatkan penjelasan yang gamblang, empat siswa itu malah mendapatkan ancaman drop out jika meneruskan ulahnya. ”Semua ini ada rinciannya. Nanti pasti diberikan,” kata Pak Ridwan. ”Nanti itu kapan?” kata Alif.
Cerita itu merupakan bagian dari film Menolak Diam yang diputar di kantor Transparency International Indonesia (TII), akhir Mei lalu. Mengalir dengan jelas pesan antikorupsi yang tergambar dalam sifat kritis Alif dan kawan-kawannya terhadap pengelolaan uang sekolah yang tidak jelas. Alif, yang menjadi tokoh protagonis, tak mau diam ketika uang-uang itu dilaporkan tidak dengan detail, bahkan diduga digelembungkan oleh kepala sekolah. Setelah hampir tidak ada yang mau menolongnya, Alif menggalang dukungan siswa lainnya saat upacara bendera. Siswa pun protes dan menuntut sekolah memberikan laporan anggaran secara detail.
Keteguhan Alif dan kawan-kawannya melawan korupsi sayangnya tidak banyak ditemui di dunia nyata. Ini terasa meski film itu dibuat karena terinspirasi oleh peristiwa yang terjadi di sebuah sekolah di Solo tahun 2008. Namun, secara umum kesadaran antikorupsi di diri anak muda sulit ditemukan jika merujuk pada survei TII.
”Salah satu survei tiga tahunan yang kami gelar menunjukkan, kelompok yang paling banyak menyuap adalah kelompok umur 35 tahun ke bawah. Ini adalah kelompok anak-anak muda yang sedang mencari kerja. Jumlah perempuan dan laki-laki dalam survei itu juga tidak jauh berbeda, hanya 5 persen,” kata Dadang Trisasongko, Sekretaris Jenderal TII.
Kelompok yang paling banyak menyuap adalah kelompok umur 35 tahun ke bawah. Ini adalah kelompok anak-anak muda yang sedang mencari kerja
Selain Dadang, diskusi dan menonton film bersama itu juga dihadiri aktivis 98, John Muhammad, dan Kepala Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Maman Wijaya.
Survei TII itu menunjukkan masih rendahnya kesadaran antikorupsi di kalangan anak muda. Hal itu bukan berarti mereka tidak paham bahaya korupsi, tetapi rupanya pemahaman kognitif tidak berbanding lurus dengan tindakan. Survei TII lainnya juga mengindikasikan ada problem integritas yang serius di kalangan anak muda.
Respons beragam
Film sebagai media penyampai pesan diharapkan bisa memupuk semangat antikorupsi di kalangan pemuda. Terlebih lagi, umumnya yang gemar menonton film adalah mereka yang berusia di bawah 35 tahun. Film dinilai menjadi sarana yang tepat untuk menyasar kelompok tersebut.
Film Menolak Diam mendapatkan respons beragam dari penonton. Film yang diedarkan melalui media sosial itu seolah-olah menampakkan perlawanan murid pada gurunya. Kalangan guru cenderung resistan terhadap film itu karena seolah mengajari murid untuk berani kepada mereka. Sebaliknya, di kalangan anak muda, film itu menyemangati mereka bahwa tidak korupsi itu suatu hal yang harus dilakukan.
Sebagai sebuah pesan, simbol-simbol yang ditampilkan di dalam film itu cukup jelas menyisipkan pesan antikorupsi. Namun, John Muhammad melihat akhir film itu tak begitu jelas. Orang kerap mengasosiasikan sikap jujur dengan tindakan heroik yang berakhir pada hidup susah, tak kaya, bahkan kematian. Orang-orang jujur berakhir tidak enak, sedangkan orang-orang tak jujur bergelimang harta.
”Harus pula diselipkan pesan kepada anak-anak muda, orang jujur juga bisa sukses. Orang jujur tidak selalu melarat, miskin, mati lalu jadi pahlawan. Bukan seperti itu. Seharusnya citra dibangun dalam menggambarkan karakter kejujuran,” katanya.
Maman mengamini pentingnya terus membuat film guna meningkatkan kesadaran akan bahaya korupsi di kalangan anak muda. Film-film dengan napas serupa pernah dibuat pada era 1970-an. Pusat Pengembangan Perfilman Kemdikbud masih menyimpan arsip film Mamat yang menggambarkan seorang PNS yang akhirnya harus menjual arsip yang dijaganya demi melunasi utang istrinya.
”Tindakan Mamat itu juga korupsi karena ia mengambil yang bukan haknya dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan sendiri. Film itu awalnya diberi judul Matinya Seorang PNS untuk menggambarkan jatuhnya integritas seorang PNS yang awalnya adalah seorang yang jujur,” kata Maman.
Konstruksi pesan
Sebagai sebuah konstruksi atas pesan, film sebagaimana teks lainnya adalah jalinan dari teks- teks lainnya. Jalinan itu kerap kali mengandung maksud dari si pembuat pesan, tetapi acap kali pengarang atau pembuat pesan itu ”mati” ketika pembaca atau penerima pesan itu memaknainya. Teori semiotik Roland Barthes telah mengingatkan hal itu. Menurut dia, sang pengarang telah mati dan makna dalam sebuah teks bebas dimaknai apa pun ketika ia dibaca orang lain.
Tidak terkecuali dalam film- film antikorupsi yang dimaksudkan untuk menyasar generasi muda. Makna film-film itu mungkin ditangkap berbeda dan simbol-simbol yang diciptakan untuk mewakili pesan-pesan ”antikorupsi” dari sang sutradara barang kali dimaknai berbeda. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar.
Namun, sebuah keniscayaan bahwa pesan bisa mengubah pemikiran seseorang dan menggugah kesadaran, jika pesan itu tiba dengan bentuk yang paling alamiah, realis, dan sesuai konteks. Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi Jerman, misalnya, membuktikan hal itu. Kesadaran kolektif sebuah bangsa ternyata bisa dibangun atau dikonstruksi melalui film. Jika kita hendak mengambil sisi positif dari pengalaman itu membuat film-film antikorupsi, seperti Menolak Diam, adalah suatu alternatif penyampaian pesan yang patut terus dicoba untuk menggugah kesadaran antikorupsi di kalangan anak muda.