JAKARTA, KOMPAS - Uji materi ketentuan ambang batas pencalonan presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi, Kamis (21/6/2018) kemarin, berpotensi tidak diterima. Sejumlah pakar hukum tata negara menilai, tak ada argumentasi hukum baru dalam permohonan tersebut serta tidak mencerminkan adanya dampak kerugian konstitusional.
Hal itu dilihat dari alasan hukum para pemohon uji materi. Ada sembilan poin argumentasi yang dijadikan dasar pengujian konstitusionalitas norma ambang batas pencalonan presiden yang diajukan para pemohon.
Namun, menurut mantan Ketua MK Mahfud MD, tidak ada argumentasi yang baru dari alasan hukum yang diajukan Kamis kemarin. Tanpa alasan hukum yang baru, permohonan uji materi yang berulang kali ini sulit diterima.
”Saya tidak ingin mendahului (pertimbangan hakim konstitusi), tetapi tampaknya tidak ada yang baru. Sepertinya ini lebih ke ranah politik karena (uji materi) yang dulu sudah ditolak MK, sementara ada beberapa partai yang sangat ingin mengajukan calon, tetapi terbentur aturan threshold,” kata Mahfud.
Sebelumnya, MK telah memutus 10 permohonan uji materi mengenai presidential threshold. Pada 11 Januari 2018, MK tidak menerima 6 permohonan serupa dan menyatakan, ambang batas pencalonan presiden tidak bertentangan dengan konstitusi.
Dalam permohonan kali ini, selain memakai alasan lama bahwa syarat ambang batas tak sesuai dengan desain pemilu serentak, alasan lain adalah soal Pasal 222 Undang-Undang Pemilu sebagai wilayah kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy). Menurut pemohon, pengaturan Pasal 6A UUD 1945 merupakan closed legal policy karena sudah jelas dalam konstitusi bahwa yang dapat mencalonkan presiden dan wapres adalah partai atau gabungan partai yang menjadi peserta pemilu.
Menurut Mahfud, substansi uji materi sudah dibahas semua dalam uji materi sebelumnya. Selain itu, menurut dia, momentum saat ini sudah tidak memadai. Pasalnya, pendaftaran capres- cawapres akan berlangsung pada 4-10 Agustus 2018. Sementara berkas permohonan baru akan diproses dan MK biasanya membutuhkan waktu lebih dari satu bulan untuk memproses mulai dari sidang pendahuluan, panel, hingga sidang pleno.
Tak ada kerugian konstitusional
Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa permohonan itu akan kembali kandas. Sebab, menurut dia, alasan hukum pemohon belum mencerminkan adanya kerugian konstitusional. ”Harus ada argumentasi hukum baru yang menunjukkan adanya kerugian konstitusional dari pengaturan di undang-undang itu. Namun, itu belum terlihat,” kata Asep.
Menurut dia, uji materi itu akan lebih tepat jika diajukan oleh partai politik baru yang hak konstitusionalnya untuk mencalonkan presiden/wakil presiden dilanggar oleh Pasal 222 UU Pemilu. Pasal itu mengatur persentase perolehan kursi dan suara pada pemilu sebelumnya ketika partai terkait belum menjadi peserta pemilu.
Sementara dalam uji materi yang didaftarkan, Kamis kemarin, pemohon adalah perseorangan warga negara yang berprofesi sebagai akademisi, aktivis, mantan pejabat, serta badan hukum publik. Menurut Asep, ketika partai baru tidak bisa berpartisipasi mengusung capres-wapres karena tidak ikut pemilu lima tahun sebelumnya, hal itu dapat dianggap melanggar Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan capres-cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu.