JAKARTA, KOMPAS – Ketangguhan demokrasi lokal akan kembali menghadapi ujian pada pelaksanaan gelombang ketiga pilkada serentak transisional di 171 daerah, Rabu (27/6). Kendati prosedural pilkada relatif sudah siap, tetapi aspek substansi demokrasi pada Pilkada Serentak 2018 masih akan menghadapi ujian politik uang, netralitas penyelenggara dan aparatur sipil negara, serta konflik pascapemungutan suara.
Pilkada Serentak 2018 akan diikuti oleh 567 pasangan calon di 171 daerah yang terdiri dari 17 provinsi, 115 kabupaten, serta 39 kota. Dari sisi jumlah daerah yang menggelar pilkada, gelombang ketiga ini masih kalah dibandingkan gelombang pertama 2015 yang terselenggara di 269 daerah. Namun, Pilkada 2018 merupakan perhelatan demokrasi lokal yang akan melibatkan pemilih terbanyak dibanding dua gelombang sebelumnya. Kali ini, ada 151 juta warga berhak memilih, atau mencapai sekitar 80 persen dari total pemilih yang masuk dalam daftar pemilih sementara (DPS) Pemilu 2019 yang berjumlah sekitar 186,3 juta orang.
Setelah pilkada 2018 usai, Indonesia akan kembali menggelar Pilkada Serentak 2020 untuk daerah yang terlibat dalam pilkada tahun 2015, sekaligus transisi terakhir sebelum pilkada serentak nasional di semua wilayah pada 2024.
Berdasarkan data KPU hingga Minggu (24/6), sebagian besar persiapan logistik pilkada sudah siap. KPU RI belum menemukan laporan gangguan berarti yang bisa menghambat pelaksanaan hari pemungutan suara. “Sampai hari ini tidak ada laporan ada hal-hal yang bisa menganggu tahapan pelaksanaan pilkada. Logistik, personel, anggaran, semua tidak ada laporan gangguan,” kata Ketua KPU Arief Budiman ditemui di Gedung KPU di Jakarta, Minggu.
Di masa tenang hingga menjelang hari pemungutan suara, KPU RI juga meminta KPU provinsi maupun kabupaten dan kota fokus menyiapkan distribusi logistik dan personel. Berkaca dari pengalaman dua pilkada serentak sebelumnya, KPU menemukan faktor utama yang menimbulkan sengketa hasil ialah netralitas penyelenggara pemilu di tingkat bawah. Oleh karena itu, Arief meminta penyelenggara di provinsi, kabupaten dan kota, kecamatan, kelurahan, hingga tempat pemungutan suara (TPS) bisa menjaga kemandirian, integritas, dan kemandirian. Selain itu, mereka juga harus benar-benar memahami aturan main.
“Biasanya faktor ketidakpahaman regulasi juga menjadi pemicu konflik,” kata Arief.
Pilkada Serentak kali ini dari sisi substansi juga menghadapi tantangan yang besar. Semakin banyak daerah yang menggelar pilkada dengan satu pasangan calon, sehingga oleh beberapa pegiat demokrasi dianggap menegasikan esensi sebuah pemilihan demokratis. Pada Pilkada Serentak 2015, ada tiga daerah yang menggelar pilkada dengan calon tunggal, kemudian pada Pilkada Serentak 2017 naik menjadi sembilan daerah. Sementara itu, pada Pilkada Serentak 2018, ada 16 daerah atau hampir 10 persen dari total daerah berpilkada, yang hanya menawarkan kepada pemilih opsi satu pasangan calon dan kotak kosong.
“Kami juga menyoroti ada juga calon tunggal yang muncul dari proses hukum. Bisa dilihat masyarakat nanti, dari 16 daerah itu apakah sama seperti sebelumnya tidak ada kotak kosong yang menang atau bagaimana,” kata Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan.
Anggota Bawaslu M Afifuddin menambahkan, pada pilkada kali ini tantangan terbesar yang dihadapi demokrasi ialah politik uang dan netralitras aparatur sipil negara. Penggunaan isu suku, ras, agama, dan antargolongan dalam kampanye yang semula dikhawatirkan akan sangat mewarnai Pilkada 2018, sebagai kelanjutan dari Pilkada DKI Jakarta 2017, ternyata bisa diredam. Isu itu tetap muncul, tetapi dalam skala yang relatif kecil di sejumlah daerah.
“Isu SARA relatif terantisipasi, tetapi politik uang dan netralitas ASN yang justru menonjol,” kata Afifuddin.
Menurut dia, menguatnya temuan ketidaknetralan ASN selama masa kampanye disebabkan beberapa faktor, semisal ASN itu ingin mendapat posisi saat kandidat yang didukung menang atau mereka memang berada diposisi yang tidak ada pilihan. Bawaslu masih tetap mengawasi potensi ketidaknetralan ASN maupun penyebaran politik uang di masa tenang.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto mengingatkan pasangan calon untuk ikut terlibat dalam menciptakan suasana pilkada yang berintegritas dan berkualitas. Mereka perlu menahan diri untuk tidak melanggar undang-undang, serta bisa ikut mendidik pemilih untuk menentukan pilihan berdasarkan program yang disajikan bukan dengan menyebarkan fitnah maupun dengan menggunakan politik uang. Dia mengingatkan pentingnya menjaga substansi demokrasi.