Netralitas ASN Masih Diragukan
JAKARTA, KOMPAS - Netralitas aparatur sipil negara masih diragukan karena masih ditemui berbagai pelanggaran jelang pemilihan kepala daerah. Namun, permasalahan itu tidak pernah putus karena putusan sanksi bagi pelanggar kembali lagi kepada kepala daerah yang notabene ingin mencalonkan diri lagi dalam pemilu. Tidak adanya penindakan yang jelas dan tegas terhadap pelanggar ini membuat masalah netralitas ASN itu terus terjadi berulang setiap pemilu.
Berdasarkan data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sejak Januari hingga 31 Mei 2018, sebanyak 748 ASN terlibat dalam pemilihan kepala daerah di 171 daerah yang akan menggelar pemilu pada 27 Juni mendatang. Pelanggaran itu di antaranya ASN ikut serta dalam deklarasi, ikut berkampanye melalui media sosial dengan atribut ASN, dan mengimbau ASN lain untuk memilih pasangan calon tertentu.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, netralitas ASN terus menjadi masalah karena tidak ada hukuman yang tegas terhadap pelanggar. Hukuman yang ada selama ini hanya mengacu pada surat teguran dari KASN di mana hukuman tersebut masih harus diputuskan oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK) pada kepala daerah yang notabene adalah petahana.
"Netralitas ASN ini jadi persoalan yang sangat serius tetapi penangannya sangat tidak jelas. Sanksi yang diberikan begitu tidak efektif sehingga tidak membuat efek jera. Apalagi kalau PPK maju lagi, rekomendasi KASN tidak mungkin ditindaklanjuti. Ini akal-akalan saja yang membuat kemudian kita jadi berputar-putar di masalah yang terus menerus terjadi tetapi tidak ada solusinya," ujar Robert dalam acara diskusi "Netralitas ASN dalam Pilkada 2018" di Cikini, Jakarta, Minggu (24/6/2018).
Robert menuturkan, posisi ASN sebenarnya sangat dilematis dalam sebuah birokrasi pemerintahan. Hal itu disebabkan ASN memiliki hak politik, tetapi tidak dapat mengekspresikan haknya tersebut. Karena itu, Robert berharap perlu dipertimbangkannya pencabutan hak politik ASN.
"Kalau kita mau melakukan terobosan, semua rekomendasi-rekomendasi itu kan sifatnya moderat. Yang sangat mendasar sesungguhnya adalah cabut hak politik ASN. Dengan itu dia kemudian benar-benar berkonsentrasi sama seperti TNI dan polisi, berkonsentrasi pada pekerjaannya," kata Robert.
Meski pencabutan hak politik tidak dapat menjamin netralitas ASN, menurut Robert, hal itu paling tidak membatasi ruang ekspresi politik ASN. Tidak berhenti di situ, lanjut dia, perlu juga ditinjau ulang soal peran inspektorat di daerah karena selama ini pelaporan terkait netralitas ASN sangat rendah.
"Karena kita bicara unsur yang lebih besar yaitu kerugian masyarakat yang terjadi akibat ekspresi poltik. Jangan sampai birokrasi tidak memberikan layanan publik yang baik hanya karena faktor-faktor politik," tutur Robert.
Kewenangan terbatas
Secara terpisah, Ketua Komisi ASN Sofian Effendi mengatakan, saat ini pihaknya memang kurang wewenang untuk menindak ASN yang terduga tidak netral. Senada dengan Robert, Sofian mengaku selama ini penindakan terhadap ASN tidak optimal karena putusan pelanggaran kembali lagi kepada PPK. Alhasil, ia menyebut, sejauh ini hanya sekitar 15 persen hingga 20 persen dari 748 ASN saja yang bisa diberikan sanksi dari ringan hingga berat.
"Kami sudah berikan ketetapan tetapi tidak dilaksanakan sanksinya. Di situ masalahnya karena PPK sangat tergantung pada dukungan ASN jadi putusannya pun tidak tegas. Malah jadi lingkaran setan," ujar Sofian.
Sofian mengatakan, soal netralitas ASN terus menjadi masalah karena pihaknya tidak punya wewenang yang tegas dari penetapan pelanggaran hingga putusan pelanggaran. Karena sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN disebutkan bahwa kewenangan KASN hanya sampai penetapan pelanggaran dan memberikan surat teguran. Karena itu, ia berharap undang-undang tersebut direvisi untuk memperkuat wewenang KASN sampai tahap eksekutorial.
"KASN sendiri tidak diberikan kewenangan melakukan tindakan. Di situ mandegnya. Makanya kami kalau ada kesempatan untuk merevisi UU Nomor 5 nantinya minta supaya kepada KASN diberikan kewenangan menjadi eksekutor. Tidak akan efektif kalau hanya rekomendasi-rekomendasi," kata Sofian.
Sofian tidak menyetujui dengan adanya pencabutan politik. Menurut Sofian, hal itu tidak menyelesaikan masalah. Bagi Sofian, yang perlu diperbaiki adalah sistem manajemen ASN. Menurut dia, manajemen ASN harus dipisahkan dari penjabat politik. Manajemen ASN akan lebih netral apabila diurus oleh penjabat karir tertinggi di daerah, yakni sekretaris daerah.
Sementara itu, Ketua Bawaslu RI Abhan menuturkan, sejauh ini penindakan terhadap ASN memang ada dua, secara administratif dan pidana. Apabila pelanggaran masih dalam tahap administratif, maka Bawaslu dan KASN hanya bisa memberikan surat rekomendasi teguran kepada PPK. Namun, apabila pelanggaran itu sudah menyentuh pada Pasal 71 Ayat (2) UU Pilkada, yakni soal pelarangan penggantian jabatan yang berbentuk mutasi, maka itu bisa menjadi sanksi berat berupa tindak pidana. Hukuman itu diberikan melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu).
"Tetapi untuk menentukan itu tindak pidana atau tidak sulit karena butuh pembuktian yang lengkap. Tidak semua juga pelanggaran bisa dikualifikasikan sebagai pelanggaran pidana. Nyatanya, pelanggaran administrasi lebih banyak," ujarnya.
Karena lebih banyaknya pelanggaran administratif, Abhan juga mendorong adanya revisi UU Nomor 5/2014 tentang ASN agar ada kewenangan lebih bagi KASN dalam menindak pelanggar sehingga tidak tergantung pada PPK.
"Memang mau tidak mau UU soal ASN ini harus direvisi. Mestinya UU beri kewenangan pada KASN terkait sanksi pidana agar tidak ada konflik-konflik kepentingan di daerah," ujar Abhan.
Hoaks
Sebelumnya, pada Sabtu (23/6/2018) beredar isu terkait pertemuan antara Wakil Kepala Kepolisian Daerah Kepulauan Riau, Brigadir Jenderal (Pol) Yan Fitri Halimansyah dan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PDIP Kepulauan Riau, Suryo Respationo, di sebuah kedai kopi di Kota Tanjung Pinang. Pertemuan itu diduga untuk membahas pemenangan calon wali kota-wakil wali kota Tanjungpinang, Lis Darmansyah-Maya Suryanti di Pilkada 2018. Pasangan tersebut diusung oleh PDIP, Hanura, Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan. Adapun, Lis Darmansyah merupakan adik dari Yan Fitri.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kepulauan Riau, Komisaris Besar (Pol) Saptono Erlangga, mengakui pada hari itu memang Yan Fitri berkunjung ke Kepulauan Riau, tetapi tujuannya untuk menyekar ke makam orang tua. Setelah itu, Yan Fitri mampir ke kedai kopi dan tidak sengaja bertemu dengan Suryo Respationo. Namun, ia membantah bahwa pertemuan itu membahas soal pemenangan Pilkada untuk pasangan Lis Darmansyah.
"Itu berita hoaks. Isu-isu hoaks karena situasi politik. Selesai dari nyekar Pak Wakapolda memang mampir ke rumah makan, sekitar 30 menit pada saat makan ketemu dengan petinggi partai, sewajarnya bertemu tokoh masyarakat, beliau say helo saja. Tidak ada pembicaraan apa-apa," ujar Saptono yang saat itu juga mendampingi Yan Fitri.
Setelah itu, Saptono mengatakan, Yan Fitri langsung bertolak lagi menuju Batam. Saptono mengatakan, apabila memang berniat buruk, seharusnya lokasi pertemuan tidak mungkin di tempat terbuka.
"Jadi tidak ada pembicaraan pilkada. Kita berpikir logis saja, kalau niatnya jelek pasti di tempat tertutup, tidak di tempat umum dan terbuka seperti itu," kata Saptono.
Ia juga menilai Yan Fitri adalah pribadi yang profesional. Meskipun adiknya mencalonkan diri sebagai wali kota, tetapi Yan Fitri tetap bertindak netral.
"Beliau profesional meski adeknya itu mencalonkan diri. Beliau juga tidak pernah membicarakan terkait pencalonan pilkada dengan staf-stafnya. Sesuai tupoksi Polri saja di dalam pengamanan pilkada," ujarnya.