Menjelang pemungutan suara Pilkada 2018 pada Rabu (27/6/2018), sejumlah pihak menunjukkan sikap kritis mengenai seberapa kuatnya sistem demokrasi lokal. Mereka mengkritisi antara lain soal munculnya pasangan calon tunggal, kandidat yang terjerat kasus korupsi, dan politik dinasti.
Daerah yang menggelar pilkada dengan pasangan calon tunggal meningkat, dari hanya muncul di tiga daerah pada 2015 menjadi 16 daerah pada 2018. Fenomena ini dinilai tidak ideal dalam suatu pemilihan demokratis karena masyarakat tidak dapat membandingkan ataupun menilai kandidat itu dengan yang lain.
Pilkada 2018 pun tidak lolos dari isu korupsi. Tahun ini, sembilan kandidat calon kepala daerah dari total 567 pasangan calon di 171 daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Kendati demikian, kondisi demokrasi di Indonesia cenderung dipandang dengan optimis oleh sejumlah orang asing. Sistem demokrasi di Indonesia telah melahirkan sejumlah hak masyarakat yang tidak ditemukan di negara anggota ASEAN lainnya ataupun negara Islam lainnya di Timur Tengah.
”Sistem demokrasi di Indonesia merupakan yang terbaik dibandingkan negara anggota ASEAN lainnya. Di Indonesia, ada kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Jumlah partai politik di Indonesia lebih besar dibandingkan negara demokrasi lainnya. Masyarakat Indonesia memiliki hak untuk memilih pemimpinnya dan pemilihan itu pun sangat kompetitif,” ujar Patrick Ziegenhain, Profesor dari Institut Asia-Eropa University of Malaya, Selasa (26/6/2018), di Jakarta.
Kuatnya demokrasi di Indonesia dibandingkan negara anggota ASEAN lain itu juga diungkapkan oleh Michel, manajer bisnis asal Perancis di suatu perusahaan industrial. Menurut dia, sejumlah negara yang tidak menerapkan sistem demokrasi cenderung tertutup dengan negara lain.
Bagi Michel, demokrasi merupakan sistem politik yang terbaik di era globalisasi seperti sekarang karena memungkinkan kehidupan masyarakat dengan kemajemukan dan diskusi di antara semua pihak.
”Demokrasi juga memberi pilihan kepada masyarakatnya untuk memilih bagaimana masa depannya dibangun. Demokrasi jauh lebih baik daripada sistem kediktatoran yang rawan korupsi ataupun kerajaan di mana seorang pemimpin dipilih berdasarkan hubungan darahnya,” tutur Michel.
Kekurangan
Walaupun demokrasi di Indonesia secara umum dipandang secara positif oleh sejumlah orang asing, beberapa hal masih perlu diperbaiki. Patrick mengatakan, kadang-kadang perlindungan negara kepada kelompok minoritas belum maksimal. ”Demokrasi bukan berarti kediktatoran oleh kelompok mayoritas,” ujarnya.
Michel yang sudah kerja di Indonesia selama enam tahun merasa gerakan Islam radikal atau ekstremis semakin marak di Indonesia. Menurut dia, penggunaan isu keagamaan dalam kampanye politik di Indonesia juga perlu benar-benar diawasi dan dilarang secara tegas. Seperti yang dilakukan sejumlah negara Barat, urusan agama dan politik harus benar-benar dipisahkan.
Sarah, mahasiswa asal Swiss yang menggemari kebudayaan tari Indonesia, mengatakan, gerakan atau kecenderungan Islam yang radikal di Indonesia menjadi salah satu isu di Indonesia yang menjadi perhatian media-media negara Barat.
”Peristiwa terpenjaranya mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terkait pernyataannya tentang Islam mengagetkan banyak orang di negara Barat,” ujar Sarah.
Edukasi dan kesadaran politik
Bagi Michel, demokrasi tidak bisa berjalan dengan baik apabila masyarakat tidak memiliki akses pada informasi mengenai kondisi negaranya. Untuk menjamin itu, kesadaran politik masyarakat perlu dikembangkan melalui edukasi dan kebebasan pers.
”Masyarakat Indonesia kini sudah melek politik. Ada juga banyak lembaga swadaya masyarakat yang sangat kritis kepada kondisi sosial dan politik di Indonesia. Mereka juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi. Bukan hanya terhadap pemerintah, melainkan juga terhadap pihak swasta,” ujar Anto Sinambela, alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang sedang berdomisili di Marseille, Perancis.
Ratna, mantan pegawai negeri yang berkali-kali bertugas di luar Indonesia, merasa terkejut dengan kepedulian masyarakat Indonesia dengan politik. Ketika ia mengunjungi Tapanuli Utara, Sumatera Utara, ia kagum bahwa masyarakat di sana sungguh-sungguh memperhatikan program yang diusulkan oleh calon kepala daerahnya.
”Masyarakat akan memilih calon kepala daerah yang betul-betul peduli kepada masyarakat dan bukan kepada partainya ataupun kepentingan lainnya,” ujar Ratna.