JAKARTA, KOMPAS — Hasil pencapaian pada pemilihan kepala daerah serentak 2018 dijadikan salah satu tolok ukur untuk memetakan kekuatan partai politik menjelang Pemilihan Umum 2019. Dari hasil hitung cepat sementara Pilkada 2018, partai-partai mulai mengevaluasi diri dan menyusun strategi pemenangan baru untuk menyambut kontestasi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, tahun depan.
Kepala Badan Saksi Pemilu Nasional Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan Arif Wibowo saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (1/7/2018), mengatakan, berkaca dari pengalaman selama ini, hasil pemilihan kepala daerah tidak selalu berkorelasi dengan pencapaian partai di pemilihan umum. Pasalnya, dalam kontestasi pilkada, faktor figur pasangan calon kerap lebih menentukan kemenangan daripada kekuatan mesin partai.
”Kontribusi terbesar untuk pemenangan di pilkada adalah faktor figur pasangan calon. Posisi partai adalah menguatkan. Maka, kalau kita evaluasi, dari pilkada ke pilkada, antara hasil pilkada dan pemilu nasional tidak selalu berkorelasi kuat,” katanya.
Ia mencontohkan, di Jawa Barat, pada Pilkada 2013, pasangan Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki kalah. Meski demikian, saat Pemilu 2014, PDI-P justru meraup suara terbanyak di Jawa Barat hingga 4.159.411 suara.
Oleh karena itu, ujar Arif, dalam kontestasi kali ini pun, PDI-P tidak terjebak menjadikan pilkada tolok ukur satu-satunya untuk memetakan kekuatan di sejumlah provinsi strategis yang menjadi daerah lumbung suara saat pemilu. Meskipun di pilkada, PDI-P kalah di Jawa Barat dan Jawa Timur, yang sebelumnya merupakan basis suara PDI-P di 2014, ia yakin hal itu tidak akan memengaruhi hasil Pemilu 2019.
”Apalagi, meskipun target normatif (di daerah lumbung suara) tidak tercapai, dari segi jumlah kader, secara kuantitas keseluruhan PDI-P unggul karena banyak kadernya yang menjadi kepala daerah. Itu yang akan menguatkan konsolidasi partai di pemilu serentak nanti,” katanya.
Kendati demikian, evaluasi tetap dilakukan dari hasil kontestasi di sejumlah provinsi strategis saat Pilkada 2018. Sebagai contoh, PDI-P berencana mengubah strategi berkampanye dari metode konvensional menjadi lebih modern dan interaktif dengan masyarakat pemilih. Misalnya, lebih aktif memanfaatkan penggunaan media sosial (medsos) untuk berkampanye dan melawan permainan isu jelang pemilihan.
”Ini menjadi bagian dari proses partai untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Respons kami di medsos (saat pilkada) memang tidak cukup maksimal. Pengalaman di beberapa daerah itu yang harus dihadapi optimal di pemilu nanti,” katanya.
Selain itu, PDI-P juga menggeser pola kampanye dari pemasangan alat peraga kampanye secara masif ke pendekatan personal dengan pemilih. Caranya dengan memperbanyak pertemuan tatap muka dengan masyarakat atau kunjungan dari rumah ke rumah.
”Lebih baik meningkatkan upaya persuasi ke masyarakat, berdialog. Di beberapa daerah saat pilkada kemarin, hal itu juga masih kurang dilakukan,” ujar Arif.
Evaluasi lain adalah mengevaluasi lagi struktur partai di daerah. PDI-P saat ini tengah memetakan daerah-daerah mana saja yang mesin partainya tidak bekerja maksimal saat pilkada lalu.
”Tentu (di daerah-daerah) itu akan kembali pada kebijakan partai, apakah perlu melakukan perubahan struktur dan penguatan pendampingan saat pemilu nanti,” kata Arif.
Evaluasi serupa dilakukan Partai Golkar. Ketua Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Partai Golkar Nusron Wahid mengatakan, pencapaian di beberapa daerah otomatis menjadi bahan evaluasi. Hasil Pilkada 2018 dapat menjadi gambaran peta kekuatan politik Partai Golkar di pemilihan legislatif ataupun peta kekuatan politik koalisi partai pendukung Joko Widodo saat pemilihan presiden.
Sebagai contoh, wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah menjadi lampu kuning bagi partai pendukung Jokowi. Sebab, meskipun di Jabar dan Jateng, calon yang unggul adalah yang diusung partai pendukung Jokowi, kekuatan Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional, yang kemungkinan akan mencapreskan Prabowo Subianto, tidak dapat dipandang sebelah mata.
Dengan berkaca pada daerah-daerah lumbung suara itu, menurut Nusron, partai perlu melakukan evaluasi dan bersiap menyusun strategi baru untuk menyambut Pemilu 2019.
”Ini jadi pekerjaan rumah dan evaluasi untuk Golkar dan Pak Jokowi. Sebab, ada silent majority atau massa mengambang di daerah-daerah itu, yang ternyata saat ini cukup kuat menjadi basis Pak Prabowo,” katanya.