[caption id="attachment_6795374" align="alignnone" width="720"] Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Veri Junaidi saat menjelaskan terkait besaran ambang batas sengketa pilkada, Minggu (8/7/2018) di Tebet, Jakarta Selatan.[/caption]
JAKARTA, KOMPAS – Persyaratan ambang batas sengketa tidak jadi penghalang untuk memperjuangkan keadilan hasil Pilkada. Menurut hasil diskusi yang diadakan oleh Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, faktor-faktor lain yang bersifat substansial juga dijadikan pertimbangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada.
Hasil rekapitulasi pemilihan kepala daerah tidak semuanya diterima begitu saja oleh semua pihak, terutama pihak yang mendapatkan perolehan suara lebih sedikit. “Pihak-pihak tersebut memiliki kesempatan untuk mengajukan sengketa hasil pilkada kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dengan syarat-syarat tertentu,” jelas Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Veri Junaidi, Minggu (8/7/2018) di Tebet, Jakarta Selatan.
Berdasarkan Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah Nomor 10 tahun 2016 dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 tahun 2017 ada beberapa syarat pengajuan sengketa pilkada. Pertama, kedudukan hukum yang dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil pilkada adalah pasangan calon. Namun, untuk daerah dengan calon tunggal, calon atau pemantau yang telah terintegrasi atau terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga boleh mengajukan permohonan.
Kedua, waktu pengajuan permohonan paling lambat adalah tiga hari kerja sejak diumumkan penetapan hasil pilkada. Penetapan hasil Pilkada serentak 27 Juni 2018 untuk tingkat kabupaten atau kota, KPU telah mengumumkan pada 4-7 Juli 2018. Sementara untuk tingkat provinsi akan dilakukan pada 7 hingga 9 Juli 2018.
Ketiga, ambang batas suara. Selisih suara antara pemohon dengan peroleh suara terbanyak berkisar antara 0,5% hingga 2% dari total suara sah hasil perhitungan suara tahap akhir sesuai jumlah penduduk dalam wilayah daerah yang ditetapkan oleh KPU Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.
Adapaun untuk daerah dengan jumlah penduduk provinsi hingga 2 juta dan jumlah penduduk kabupaten atau kota dengan jumlah penduduk hingga 250 ribu memiliki ambang batas sengketa 2%. Untuk wilayah dengan jumlah penduduk provinsi antara 2 hingga 5 juta dan jumlah penduduk kabupaten atau kota 250 ribu hingga 500 ribu ambang batasnya adalah 1,5%.
Lalu untuk wilayah dengan jumlah penduduk degan jumlah penduduk 6 juta hingga 12 juta dan jumlah penduduk kabupaten atau kotanya sejumlah 500 ribu hingga 1 juta penduduk ambang batas yang ditetapkan adalah 1%. Sedangkan untuk wilayah dengan jumlah penduduk provinsi di atas 12 juta dan penduduk kabupaten atau kota lebih dari 1 juta ambang batasnya adalah 0,5%
Dari ketiga persyaratan tersebut yang paling menjadi sorotan adalah syarat terkait ambang batas suara. Menurut Veri pertimbangan yang bersifat matematis seperti ambang batas tidak sepenuhnya bisa dijadikan satu-satunya pijakan untuk menentukan apakah sebuah sengketa layak untuk diselesaikan atau tidak.
Ambang batas cenderung membuat para pasangan calon berupaya untuk bisa memenangi perolehan suara dengan selisih sebanyak-banyakan agar kemenangannya tidak bisa digugat ke MK. “Dengan begitu praktik kecurangan semakin massif karena orientasinya adalah menang (dengan perolehan suara) banyak,” kata Peneliti Hukum Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil saat dihubungi secara terpisah.
Lebih Fleksibel
Selisih ambang batas suara bukan lagi menjadi persoalan. Sejak 2017 lalu MK mulai mempertimbangkan hal-hal substansial terkait pengajuan sengketa, seperti jika kasus tersebut kepastian hukumnya tidak ada, ada kejadian luar biasa saat rekapitulasi, objek permohonannya prematur, rekapitulasinya cacat hukum serta adanya tindakan insubordinasi antar KPU.
Ada beberapa kasus sengketa pilkada yang ditangani dan menang meskipun tidak memenuhi syarat ambang batas, salah satunya adalah kasus di Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua. Veri menceritakan saat itu kondisinya KPU Kabupaten Yapen melakukan tindakan insubordinasi dengan tidak menjalankan perintah KPU Provinsi Papua dan KPU Republik Indonesia unuk membatalkan putusannya.
“Kala itu KPU Yapen mendiskualifikasi salah satu calonnya sehingga calon tunggal yang maju. Namun setelah diajukan sebagai sengketa pilkada kasus itu akhirnya menang,” ujar Veri. Setelah itu MK memberikan rekomendasi kepada penyelenggara untuk mengikutkan calon yang telah didiskualifikasi tersebut dalam kontestasi. Dari hasil pemilihan ulang dinyatakan bahwa calon yang didiskualifikasi tadi keluar sebagai pemenang.
Diterapkan di Pilkada Serentak 2018
Kode Inisiatif mengapresiasi upaya MK untuk menegakkan keadilan substansial serta tidak hanya melihat persoalan pemilihan dengan mempertimbangkan ambang batas secara selektif. Mereka berharap sistem ini bisa diterapkan secara berkelanjutan.
Senada dengan Kode Inisiatif, Fadli juga berharap langkah terbuka MK ini bisa terus dipertahankan di persengketaan hasil pilkada 2018. “Agar proses di MK sesuai dengan tujuan awal yakni mewujudkan pemilu dalam kerangka keadilan yang substantif,” tutup Fadli.
Menurut pemberitaan Kompas (15/5/2018) peserta bisa mengajukan permohonan perkara pilkada dengan sistem daring melalui lamansimple.mkri.id. untuk itu peserta tidak pelu lagi berbondong-bondong datang ke MK untuk mengajukan permohonan sengket.
Berdasarkan situs resmi MK hingga Minggu (8/7/2019) sudah ada 9 permohonan yang diterima oleh MK yang terdiri dari 5 permohonan pemilihan walikota dan 4 permohonan pemilihan bupati. Dari 9 permohonan ini yang memenuhi syarat ambang batas hanya 3 permohonan.
Menurut data yang dihimpun oleh Kode Inisiatif sejak 5 kali pilkada jumlah sengketa yang diajukan ke MK fluktatif. Pada tahun 2012 MK menerima 104 kasus, tahun 2013 ada 196 kasus, tahun 2014 ada 13 kasus, 2016 ada 152 kasus dan pada 2017 MK menerima 60 permohonan sengketa. (E18)