JAKARTA, KOMPAS - Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali belum juga menunjuk Ketua Kamar Pidana baru, pengganti Artidjo Alkostar. Di sisi lain, selepas Artidjo pensiun, permohonan peninjauan kembali yang diajukan para narapidana korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat makin bertambah.
Hingga pekan ini, PN Jakarta Pusat telah menerima pengajuan PK dari 16 terpidana kasus korupsi. Sebanyak 10 di antaranya diajukan oleh terpidana korupsi yang kasusnya ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kepala Humas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Sunarso, Jumat (13/7/2018), mengonfirmasi tentang adanya sejumlah terpidana korupsi yang mengajukan PK. Pemohon PK itu di antaranya adalah mantan anggota DPRD DKI, M Sanusi, mantan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Jero Wacik; Andi Zulkarnaen Mallarangeng; dan mantan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara, Guntur Manurung.
Juru Bicara MA Suhadi, saat dihubungi kemarin, mengatakan, pengganti Artidjo selaku Ketua Kamar Pidana merupakan wewenang dari Ketua MA. Belum dapat dipastikan kapan pengganti Artidjo akan ditunjuk.
”Itu menjadi wewenang dari Ketua. Butuh pertimbangan yang sangat matang memang,” ujar Suhadi.
Selama Ketua Kamar Pidana baru belum ada, urusan pembagian perkara di kamar pidana diambil alih sementara oleh Wakil Ketua Bidang Yudisial MA Muhammad Syarifuddin.
Juru Bicara Komisi Yudisial Farid Wajdi mengatakan, pihaknya percaya MA akan menemukan pengganti Artidjo.
”Sosok Artidjo dikenal publik karena keberanian dan gebrakannya. KY percaya akan ada hakim agung yang akan bekerja seperti beliau dengan kompetensi dan kualitas sesuai kamar pidana yang mumpuni, berintegritas baik, dan memiliki track record putusan progresif yang relatif sama dengan Artidjo,” ujarnya.
PN Jakarta Pusat telah menerima pengajuan PK dari 16 terpidana kasus korupsi. Sebanyak 10 di antaranya diajukan oleh terpidana korupsi yang kasusnya ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selain kebutuhan untuk menggantikan posisi Ketua Kamar Pidana MA, Suhadi menambahkan, jumlah hakim agung di kamar pidana pun perlu ditambah karena tidak sebanding dengan banyaknya perkara yang masuk.
”Sekarang ini, ada 15 hakim agung di kamar pidana. Idealnya jumlah hakimnya di atas 20 orang karena volume perkara pidana termasuk yang tertinggi, sekitar 42 persen. Melihat kondisi itu, kuantitas hakim agung untuk pidana memerlukan penambahan,” ungkap Suhadi.
MA sudah meminta tambahan delapan hakim agung untuk mengisi kamar agama, perdata, pidana, militer, dan kamar tata usaha negara. Namun, kebutuhan itu belum terpenuhi.