Memilih pasangan itu gampang-gampang susah. Para jomloers paling sebal kalau ditanya ”kapan menikah?” di acara-acara arisan keluarga atau silaturahim Lebaran. Bagi mereka yang lajang, pertanyaan itu makjleb banget bikin pikiran berhenti dan lidah kelu. Mood langsung uring-uringan. Maka jangan tanya soal pasangan menjelang Pemilihan Presiden 2019. Setiap kubu bukan menjawab pertanyaan secara jelas dan lugas, malah menuding kubu lain. Kubu satu ditanya, jawabannya ngaco: kubu sebelah belum ada calon. Bertanya ke kubu sebelahnya, jawabannya ngawur: kubu sana belum punya pasangan. Dua kubu sama uring-uringannya. Publik cuma disuguhi teka-teki.
Padahal, sekarang ini kita bercerita soal Pilpres 2019, bukan soal arisan keluarga. Akan tetapi, maaf suasana batinnya mirip-mirip, ya. Padahal, pendaftaran calon presiden dan wakil presiden sebentar lagi, 4-10 Agustus 2018. Sejak 2014, soal Piplpres tampaknya mengacu pada dua kubu. Mereka adalah koalisi pendukung pemerintah dan saingan beratnya, yaitu koalisi oposisi. Koalisi pemerintah sudah pasti mengusung Joko Widodo, presiden petahana. Koalisi oposisi baru kembali menggadang-gadang Prabowo Subianto. Belum resmi dicalonkan. Banyak yang berharap ada poros ketiga. Bukan saja banyak alternatif, melainkan juga dapat menjaga bandul keseimbangan agar tensi politik tidak meninggi terus akibat rivalitas akut dua kubu sejak 2014.
Karena waktu pendaftaran capres-cawapres makin dekat, gerilya dan lobi politik bikin heboh belakangan ini. Tokoh-tokoh partai politik saling bersilaturahim dan beranjangsana. Cepat-cepatan adu trik. Inilah musim lamaran. Janji dan kompensasi sama-sama dibuka. Semula Jokowi ingin kembali menggandeng Jusuf Kalla. Namun, jalan sudah tertutup. Mahkamah Konstitusi memutuskan JK tidak bisa lagi menjadi cawapres. Pasal 7 UUD 1945 sudah jelas bahwa Presiden dan Wapres dapat dipilih kembali dalam jabatan sama hanya untuk satu kali masa jabatan. JK sudah dua kali menjadi wapres, mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) dan mendampingi Jokowi (2014-2019).
Jikalau JK mau menjadi calon presiden, ceritanya beda lagi. Makanya sempat muncul promosi pasangan JK-Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) setelah JK bertemu SBY, ayah AHY, akhir Juni lalu. Akan tetapi, itu ramai sebentar saja, terutama di media sosial. Berbagai nama juga dipasang-pasangkan dengan Jokowi. Secara berkelakar, Jokowi bilang ada Moeldoko, Mahfud MD, Muhaimin Iskandar, Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, Jimly Ashshidiqie, Airlangga Hartarto. Bahkan, ada nama Anies Baswedan juga. Padahal, Anies masuk kubu satunya lagi. Sudah santer juga kombinasi Prabowo-Anies. Bagi Gerindra, Anies dianggap representasi PKS seperti dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Akan tetapi, PKS tidak setuju. Apalagi PKS sudah lama mengajukan proposal 9 nama bakal cawapres. PKS seperti juga Gerindra mesti berkoalisi untuk bisa mengusung capres-cawapres. Tampaknya PKS sudah menyadari posisinya. Siapa pun presidennya, wapresnya dari PKS. Kira-kira begitulah. Belakangan mengerucut pada Ahmad Heryawan, mantan Gubernur Jawa Barat, yang paling kuat untuk disandingkan dengan Prabowo. Makanya, berbagai cara dilakukan untuk menahan laju Anies agar tidak tergoda aroma Pilpres 2019. Karena, Anies harus tuntas mengemban amanah di Jakarta sampai tahun 2022. Bahkan, ada petinggi PKS yang bersurat ”mengingatkan” Anies tentang tugasnya itu.
Namun, manuver politik itu cepat sekali. Ketika elektabilitas Prabowo dinilai stagnan, PKS seperti bermain trampolin, melompat tinggi mewacanakan Anies sebagai capres. Bagi PKS, pengorbanan rakyat pada Pilkada DKI Jakarta 2017 terlalu besar apabila Anies cuma diusung sebagai cawapres. Trik itu bisa membuat Gerindra kikuk dan bisa mati gaya. Dan, posisi PKS tetap aman. Inilah politik, bisa berubah cepat. Politik isuk dele sore tempe itu sudah lumrah. Tak perlu kaget, termasuk ketika ada isu pasangan Jokowi-Anies. Itulah politik.
Namun, semua di posisi standby. Saling intip lawan. Setiap kubu menyembunyikan jurus pamungkas. Cuma jangan terlalu lama mengintip. Bisa-bisa nanti cuma kebagian ”keraknya” (bahasa Jawa: intip = kerak nasi). Namun, trik begitu berguna untuk pemetaan merebut elektabilitas di pilpres nanti. Taktik mengenal musuh memang penting. ”Jika Anda tahu musuh dan tahu diri Anda sendiri, tidak perlu takut dengan hasil dari seratus pertempuran. Akan tetapi, jika Anda tidak mengenal musuh dan diri Anda sendiri, Anda akan menyerah dalam setiap pertempuran,” kata Sun Tzu (544-496 SM), jenderal China ahli strategi perang paling kondang.
Namanya memilih pasangan biasanya sudah dipertimbangkan masak-masak ”bibit, bebet, bobot”-nya. Dalam sejarah politik Indonesia, kombinasi pasangan calon itu biasanya mempunyai kriteria-kriteria tertentu, misalnya sipil-militer, Jawa-non Jawa, Islam-non Islam, nasionalis sekuler-nasionalis religius, politikus-teknokrat, mungkin juga tua-muda. Rekrutmen politik yang memperlihatkan pola-pola seperti itu sudah tertanam dalam-dalam di sistem politik kita. Pola itu merupakan bagian politik representasi. Sekarang ini, potret politik kita lebih mengerucut pada dua kelompok besar, yaitu nasionalis dan agamis (Islam), meskipun dalam Islam dapat terbagi dalam sub-sub kelompok aliran lagi. Basis massa Islam dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, tentu menjadi ceruk suara yang pasti diperebutkan dalam pilpres mendatang. Dulu Clifford Geertz membagi tiga aliran: priayi, santri, dan abangan. Kemudian Herbert Feith dan Lance Castles menyebutkan, sepanjang 1945-1965 ada lima aliran politik: nasionalisme radikal, Islam, sosial demokrat, komunisme, tradisionalisme Jawa.
Semua politik aliran itu bisa diutak-atik untuk memilih pasangan guna memenangi pilpres. Meskipun demikian, jangan melupakan nilai strategis Pilpres 2019. Pertama, pemimpin muda mesti diberi peluang agar tidak mengarah pada gerontokrasi. Apalagi sekarang era generasi milenial. Supaya negara tidak kelihatan menua. Comeback-nya Mahathir Mohammad di Malaysia tak perlulah menjadi inspirasi. Mahathir mungkin suatu perkecualian. Masih banyak tokoh muda yang membawa asa bangsa ke depan. Kedua, visi kebangsaan calon tak diragukan lagi. Politik identitas yang subur akhir-akhir ini menggersangkan ladang-ladang di Bumi Pertiwi. Apalagi mereka yang menunggangi politik identitas, meskipun muda dan punya kapasitas, rasanya tidak pantas diberi tempat. Jangan karena jabatan, nilai-nilai kebangsaan dipermainkan. Falsafah Jawa mengingatkan, ”aja ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman” (jangan terkungkung hawa nafsu hanya untuk mengejar jabatan, kekayaan, dan kenikmatan dunia).
Sesungguhnya pemimpin yang menyadari betapa beratnya mandat rakyat tentu dia akan bersedih. Seorang patriot seperti George Washington saja sebetulnya enggan menerima jabatan Presiden AS. Pada 1789, ia berpidato, ”Saya tidak bisa menggambarkan emosi menyakitkan yang saya rasakan untuk menentukan apakah saya akan menerima atau menolak kursi Presiden Amerika Serikat.” Bagaimana dengan pemimpin di negeri ini? Ah, di negeri ini mah, pemimpin korup diciduk KPK saja senyum-senyum.