JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Agung menganulir Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Paralegal. Ketentuan yang memberikan kewenangan kepada paralegal, yakni orang (bukan advokat) dengan kemampuan advokasi, untuk memberikan bantuan hukum kepada warga secara cuma-cuma, baik di dalam pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (nonlitigasi), dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Advokat.
Pembatalan peran paralegal terungkap dalam putusan MA Nomor 22 P/HUM/2018 tertanggal 31 Mei 2018. Uji materi diajukan oleh kelompok advokat yang merasa ketentuan itu merugikan profesi mereka. Para pemohon fokus pada Pasal 11 dan 12 Permenkumham No 1/2018 yang memberi kewenangan advokasi litigasi dan nonlitigasi kepada paralegal. Dilansir dari situs MA, Minggu (15/7/2018), majelis hakim yang memeriksa uji materi permenkumham itu dipimpin oleh Is Sudaryono dengan anggota Yosran dan Irfan Fahrudin.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah membenarkan soal keluarnya putusan itu. Ketentuan di dalam Permenkumham No 1/2018 tentang Paralegal itu dinilai menyalahi UU Nomor 18/2003 tentang Advokat karena memberikan kewenangan kepada paralegal yang belum diangkat sebagai advokat oleh Pengadilan Tinggi untuk memberikan bantuan hukum di dalam persidangan (litigasi) dan nonlitigasi.
”Logikanya sama dengan paramedis, mereka tidak boleh melakukan pekerjaan dokter. Begitu pula dengan paralegal. Paralegal bukanlah advokat. Mereka belum memiliki kompetensi yang disyaratkan untuk mendampingi pencari keadilan dalam ruang sidang,” kata Abdullah, Minggu, di Jakarta.
Untuk menjadi advokat, seorang sarjana hukum haruslah mengikuti pendidikan profesi serta pelatihan dan magang dalam waktu tertentu. Pelatihan harus diberikan oleh asosiasi advokat. Setelah memenuhi kualifikasi itu, seseorang baru sah menjadi advokat jika telah diangkat oleh pengadilan tinggi. Syarat yang ketat itu tidak dilalui oleh paralegal. Untuk menjadi paralegal, seseorang bahkan tidak harus memiliki gelar sarjana hukum.
Akses keadilan
Koordinator Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, paralegal amat dibutuhkan untuk mewujudkan akses keadilan yang lebih luas bagi masyarakat. Dengan pembatalan ketentuan soal paralegal tersebut, masyarakat miskin dan marjinal yang selama ini sulit mengakses bantuan hukum akan makin tersingkirkan dalam pencarian keadilan.
”Putusan ini adalah langkah mundur terhadap upaya perluasan bantuan hukum dan akses keadilan. Hingga kini, ada sekitar 405 organisasi bantuan hukum (OBH) yang memberikan pelayanan kepada sedikitnya 28 juta penduduk miskin. Dengan jumlah itu, satu OBH harus melayani 67.000 orang miskin,” katanya.
Jumlah tersebut belum memadai untuk melayani warga pencari keadilan. Advokat sebenarnya memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma atau pro bono. Kewajiban itu juga ditegaskan di dalam UU Advokat. Akan tetapi, pada kenyataannya, tidak banyak advokat memenuhi kewajiban tersebut.
Selain dikritik, putusan MA yang menganulir peran paralegal tersebut diapresiasi oleh kalangan advokat.
”Putusan itu tepat sekali. Kalau sampai paralegal dibiarkan membela di dalam sidang, nanti yang dirugikan adalah pencari keadilan itu sendiri. Sebab, dia tidak cukup memiliki kompetensi sehingga tidak optimal mendampingi dan membela klien,” ujar advokat senior Otto Hasibuan,
Otto berharap Kementerian Hukum dan HAM mengoptimalkan advokat yang ada untuk memberikan bantuan hukum gratis. Selama ini, pemerintah dinilai tidak memiliki kepedulian kepada advokat yang ingin memberikan bantuan hukum gratis.
”Kemenkumham justru yang mempersulit kami saat minta izin untuk mendirikan OBH. Kami akhirnya membuat lembaga sendiri dan membiayai sendiri untuk keperluan pro bono itu,” katanya.