JAKARTA, KOMPAS – Pers dalam melakukan kerja jurnalistiknya di bidang hukum, khususya untuk peliputan persidangan, harus tetap menghormati asas praduga tak bersalah. Peliputan yang dilakukan itu pun tidak boleh mengganggu asas-asas dasar dalam jalannya suatu proses peradilan, seperti independensi, serta perlindungan atas saksi dan korban.
Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo mengingatkan kembali peran pers sebagai salah satu pilar demokrasi dan pembentuk nation state Indonesia. Penegakan hukum menjadi salah satu kunci dalam demokrasi. Oleh karenanya, pers di dalam memberitakan penegakan hukum pun harus tetap memberikan rasa hormat kepada setiap pihak yang terlibat di dalamnya, termasuk di dalam ruang sidang.
“Liputan pers harus menghormati asas praduga tak bersalah. Wartawan tidak sembarangan meliput peradilan. Perlu dipertimbangkan supaya peliputan itu tidak meruntuhkan respek terhadap pengadilan, misalnya dengan mewawancarai hakim, jaksa, atau pengacara ketika proses pengadilan masih berlangsung, menampilkan wajah tersangka yang belum tentu bersalah, hingga melakukan siaran langsung dari ruang sidang. Pers seharusnya tidak menjadikan pengadilan sebagai badut,” ujarnya, Senin (16/7/2018), di Jakarta, ketika membuka lokakarya media bertajuk, “Pembaruan Sektor Peradilan dan Peran Pers dalam Mendukung Peradilan yang Transparan dan Akuntabel.”
Hadir dalam pembukaan itu, Ketua MA Hatta Ali, Direktor UNDP untuk Indonesia Cristophe Bahuet, dan Kuasa Usaha Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Charles-Michel Geurts.
Lokakarya diselenggarakan atas kerja sama Dewan Pers dan Mahkamah Agung, serta didukung oleh United Nations Development Programme (Program Pembangunan PBB/UNDP) dan Uni Eropa. Lokakarya berlangsung pada 16-19 Juli 2018 di Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA, Bogor, Jawa Barat.
Hatta mengatakan, terdapat tarik ulur antara prinsip pengadilan yang terbuka dengan kebebasan pers. Pengadilan memang digelar terbuka, tetapi terdapat batasan-batasan tertentu yang diatur oleh hukum acara, supaya tidak menimbulkan gangguan terhadap prinsip-prinsip independensi dan perlindungan kepada saksi maupun korban.
Hatta mencontohkan siaran langsung pengadilan dalam kasus pembunuhan menggunakan kopi bersianida yang menimbulkan polemik. “Kasus persidangan ini menjadi paradoks karena tejadi tarik-menarik antara transparansi peradilan dan kepentingan media untuk menarik audiens. Dampak dari peliputan media itu menjadi berbeda dengan tujuan awal peliputan media yang ingin membuat warga melek hukum,” katanya.
Kasus persidangan ini menjadi paradoks karena tejadi tarik-menarik antara transparansi peradilan dan kepentingan media untuk menarik audiens. Dampak dari peliputan media itu menjadi berbeda dengan tujuan awal peliputan media yang ingin membuat warga melek hukum
Peran pers itu sendiri tak terhindarkan dan penting dalam pembaruan peradilan. Sebab, menurut Hatta, terdapat ungkapan yang mengatakan keadilan tidak hanya harus dilakukan, tetapi juga harus bisa dilihat keadilan itu telah dilakukan, atau “not only must justice be done, it must also be seen to be done.” Dalam konteks ini, pers berperan krusial mengabarkan keadilan itu sendiri.