JAKARTA, KOMPAS - Upaya memutus mata rantai korupsi dalam sistem peradilan dijajaki Mahkamah Agung dengan membuka pendaftaran perkara secara online atau dalam jaringan. Pendaftaran cara daring ini diharapkan bisa membatasi hubungan atau interaksi antara pencari keadilan dan pegawai pengadilan untuk memperkecil risiko kesepakatan di bawah meja atau pungutan liar.
Pendaftaran secara daring ini diatur dalam Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan secara Elektronik. Perma yang diterbitkan Maret lalu itu bagian dari proyek pengembangan e-court atau pengadilan elektronik yang dijajaki MA dalam program bantuan ditopang United Nations Development Programme (UNDP) dan Uni Eropa.
Ketua MA Hatta Ali menegaskan, Senin (16/7/2018), di Jakarta, pendaftaran daring baru bisa diterapkan enam bulan sejak perma diterbitkan. Artinya, pencari keadilan atau advokat baru bisa daftar secara daring lewat situs pengadilan setempat pada September depan. Pendaftaran daring baru bisa diterapkan pada perkara perdata, perdata agama, tata usaha negara, dan tata usaha militer.
”Untuk pidana belum bisa didaftarkan online karena itu melibatkan digitalisasi dan kerja sama dengan pihak kepolisian dan kejaksaan. Namun, upaya ke arah sana terus dilakukan. Berbeda dengan perdata, pidana tak perlu pendaftaran gugatan oleh pihak yang beperkara atau kuasa hukumnya,” kata Hatta.
Menurut Hatta, MA kerap menerima keluhan para pencari keadilan dan advokat mengenai pendaftaran perkara yang memakan waktu cukup lama. Mereka datang ke pengadilan mendaftarkan perkaranya. Dengan sistem daring, advokat dan pencari keadilan tak perlu ke pengadilan. Mereka bisa mendaftar dari kantor atau rumah.
Selain pendaftaran daring, Perma No 3/2018 juga mengatur penyampaian replik (tanggapan atas jawaban tergugat) atau duplik (jawaban atas replik) yang bisa dilakukan secara daring pula.
”Dulu kami dengar banyak keluhan PH (penasihat hukum). Sebab mereka harus tunggu lama hanya untuk sampaikan jawaban, replik, duplik, atau kesimpulan. Mereka sampai berjam-jam menunggu di pengadilan karena hakim yang menyidangkan perkara lain. Dengan ketentuan baru, mereka tak perlu datang, cukup dikirim berkas-berkasnya. Ini bisa menghemat waktu pencari keadilan,” kata Hatta.
Biaya pemberkasan kini juga dikoneksi elektronik dengan bank. Pembayaran perkara dilakukan lewat sistem pendaftaran. Setelah pengiriman berkas dan pembayaran ongkos perkara secara daring ke bank ditunjuk, sistem memverifikasi berkas yang dikirim, dan pencari keadilan bisa tahu nomor register perkara dan jadwal sidang pertama.
Sekretaris MA Achmad Setyo Pudjoharsoyo menambahkan, MA terus mengembangkan e-court bagian modernisasi peradilan. Ini juga untuk menjaga integritas pegawai. ”Kalau bertemu pegawai, kan kami tak tahu ada pembicaraan apa, sehingga bisa saja advokat titipkan sesuatu ke pihak lain. Itu yang kami potong,” katanya.
Anggota Koalisi Pemantau Peradilan, Julius Ibrani, mengatakan, e-court sudah diterapkan di sejumlah negara, termasuk Singapura. Modernisasi layanan di pengadilan didahului digitalisasi sistem manajemen. Namun, digitalisasi sistem seharusnya sejalan dengan fakta.