JAKARTA, KOMPAS – Kualitas pelayanan publik menjadi kendala terbesar yang harus dihadapi oleh Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya. Ombudsman Republik Indonesia menerima laporan yang nyaris tidak bergeser dari tahun ke tahun mengenai problem pelayanan publik tersebut. Sepanjang tahun 2017, ORI menerima 263 laporan masyarakat terkait dengan pengadilan dan pelayanannya.
Tiga problem utama yang paling sering dilaporkan publik ialah penundaaan putusan dan penanganan perkara yang berlarut-larut, penyimpangan prosedur, serta lemahnya kompetensi aparat pengadilan.
“Dari tahun ke tahun, tiga problem itu tidak berubah, hanya bergeser posisinya, mana yang paling banyak dilaporkan. Namun, secara umum tiga hal itu sering dikeluhkan oleh publik. Tiga hal ini memang harus menjadi perhatian MA dan pengadilan di bawahnya bila ingin meningkatkan kualitas pelayanan publik,” kata Alamsyah Saragih, anggota ORI, Selasa (17/7/2018) di Bogor, Jawa Barat, di sela-sela lokakarya media yang diadakan oleh United Nations Development Programme (Program Pembangunan PBB/UNDP) dan Uni Eropa yang bekerja sama dengan MA dan Dewan Pers.
Menurut Alamsyah, MA bisa mengatasi tiga problem utama itu dengan melakukan dua hal. Pertama, MA memperbaiki penanganan pengaduan masyarakat. Kedua, MA melakukan digitalisasi dalam penanganan perkara, atau mendorong pengembangan perkara secara elektronik atau dalam jaringan (daring/online).
“Sebelum publik mengadu ke ORI, mereka terlebih dulu mengadu atau mengeluh kepada pengadilan atas kinerja dan pelayanan mereka. Namun, karena tidak direspon dengan baik aduan itu, mereka pun membuat laporan ke ORI. Seharusnya, bila problem pelayanan atau keluhan itu bisa diatasi di pengadilan, keluhan atau laporan publik itu tidak sampai dibawa ke ORI,” katanya.
Tiga problem utama yang paling sering dilaporkan publik ialah penundaaan putusan dan penanganan perkara yang berlarut-larut, penyimpangan prosedur, serta lemahnya kompetensi aparat pengadilan.
Penggunaan mekanisme elektronik dalam penanganan perkara atau e-court yang saat ini sedang dibangun oleh MA, menurut Alamsyah, diyakini bisa mengatasi sebagian problem yang dikeluhkan oleh publik. Mekanisme e-court itu memungkinkan publik mendapatkan putusan lebiuh cepat, penanganan perkara yang lebih jelas, ketersediaan informasi yang mudak diakses, dan biaya yang lebih murah.
“Kami menanti realisasi dari e-court ini. Jika ini betul berjalan, kami berharap upaya itu bisa meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan. Persepsi publik juga akan bergeser, dan laporan ketidakpuasan atas kinerja pengadilan bisa turun,” ujar Alamsyah.
Upaya pembenahan
Sebelumnya, MA mengeluarkan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara secara Elektronik. Perma ini menjadi landasan hukum bagi dilakukannya pendaftaran perkara perdata secara elektronik atau daring. Advokat dan pencari keadilan tidak perlu datang ke pengadilan untuk mendaftarkan gugatannya, karena itu semua bisa dikirim dari kantor atau rumah. Begitu pula dengan pembayaran biaya perkara. Selain itu, berkas replik (tanggapan atas jawaban tergugat) atau duplik (jawaban atas replik) juga bisa dikirimkan secara daring.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah mengatakan, MA bukan tidak berbenah dalam menyikapi keluhan publik. Laporan mengenai adanya pungutan liar (pungli) yang dilakukan sejumlah lembaga, termasuk yang disampaikan kepada ORI, direspon oleh MA.
“Kami membuka pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) di setiap pengadilan, sehingga publik pencari keadilan bisa dilayani dalam satu koridor atau pintu. Tidak ada lagi yang bisa masuk sembarangan untuk bertemu hakim atau panitera pengganti, karena semua kebutuhan atau keperluan warga pencari keadilan bisa dilayani petugas PTSP. Pungli dalam penyerahan berkas, atau informasi lain terkait pengadilan berupaya dipangkas, karena semua pelayanan dipusatkan dalam PTSP,” katanya.
Keberadaan Perma No 3/2018 diharapkan bisa membenahi pelayanan publik di pengadilan. Sistem yang diatur dalam ketentuan itu memungkinkan pencari keadilan lebih cepat dalam menerima putusan karena penanganan perkara yang efektif dan efisien.
“Terkait dengan informasi dasar soal nama hakim, jadwal sidang, atau posisi perkara, sekarang publik bisa menelusurinya dengan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP),” ujarnya.