JAKARTA, KOMPAS - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan pemerintah belum menyanggupi pencabutan moratorium pemekaran daerah. Sebab, dibutuhkan dana yang besar untuk pembentukan satu daerah menjadi provinsi atau kabupaten/kota.
Dalam Rapat Kerja Komite I Dewan Perwakilan Daerah dengan Kemendagri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/7/2018), Tjahjo mengatakan, terdapat 314 daerah yang mengajukan permohonan untuk menjadi daerah otonom baru (DOB). Jumlah permintaan yang besar tersebut membuat pemerintah tidak bisa memilih daerah mana yang harus diprioritaskan.
“Pemerintah didorong untuk memilih tiga atau empat daerah terlebih dahulu. Tapi coba bayangkan, kalau dipilih beberapa daerah, pasti yang lain ribut dan semakin mendesak. Bagaimana pemerintah harus memilih?” kata Mendagri.
Beberapa daerah yang mengajukan permohonan menjadi DOB antara lain Nias, Tapanuli, Cirebon, Sukabumi, Buton, Barito Raya, Pulau Sumbawa, dan Papua Barat Daya. Daerah-daerah ini mengusulkan perubahan status daerahnya menjadi provinsi.
Menurut perhitungan Kemendagri, untuk persiapan pembentukan satu kabupaten dengan jumlah penduduk di bawah 1 juta jiwa membutuhkan dana Rp 400 miliar. Pemekaran daerah dinilai akan membebani keuangan negara karena anggaran bersumber dari APBN.
“Keuangan negara tidak dapat membiayai pemekaran daerah tersebut. Kami mengerti usulan pemekaran daerah itu hak warga negara. Presiden juga memahami kepentingan memajukan kesejahteraan melalui pemekaran,” kata Tjahjo. Di samping itu, Pemilu 2019 yang semakin dekat juga menjadi faktor yang menghambat pemekaran daerah untuk segera dilakukan.
Sebelumnya, DPR dan DPD telah menetapkan 87 daerah yang disiapkan untuk menjadi daerah otonom baru. Akan tetapi, rencana tersebut dibatalkan. Terkait dengan itu, Anggota Komite I DPD dari Provinsi Bengkulu, Eni Khairani, menyarankan agar daerah-daerah yang telah disiapkan untuk menjadi DOB diprioritaskan saat pemekaran daerah kembali dimulai.
“Contohnya di Provinsi Bengkulu ada Kabupaten Lembak. Apakah saat keran pemekaran daerah dibuka, mereka harus mulai proses administrasi dari awal lagi? Saya harap daerah-daerah ini diprioritaskan untuk menjadi DOB,” kata Eni.
Alokasi dana
Pemekaran daerah masih terhambat permasalahan infrastruktur tata kelola pemerintahan, bahkan di provinsi yang telah berdiri sejak lama. Di Provinsi Gorontalo, satu komandan komando distrik militer (dandim) dapat merangkap 8 kota/kabupaten ke dalam administrasinya. Begitu pula dengan kejaksaan di Papua yang harus menangani lebih dari satu daerah, serta Kapolres yang wilayah hukumnya hingga tiga kabupaten di NTT.
Beberapa daerah baru tidak mendapatkan dana yang sesuai dengan statusnya. Provinsi Kalimantan Utara, misalnya, mendapatkan dana otonomi yang lebih kecil daripada Kabupaten Bogor di Jawa Barat. Padahal luas Kaltara mencapai 2,5 kali Pulau Jawa. Hal ini disebabkan oleh jumlah penduduknya yang hanya 700.000 jiwa, sementara Kabupaten Bogor mencapai 5 juta jiwa.
Di samping itu, ketepatan alokasi anggaran otonomi dari pusat juga dilanda ketidakpastian. Mendagri mengatakan, beberapa daerah kepulauan seperti di Maluku mendapatkan dana yang hanya berdasarkan perhitungan luas wilayah daratan.
Sebaliknya, menurut Anggota Komite I DPD dari Provinsi Kepulauan Riau, Djasarmen Purba, anggaran otonomi daerah seharusnya memperhitungkan luas laut sebagaimana diatur Pasal 15 Ayat 4 UU No. 32/2014 tentang Kelautan. (E03)