Upaya Alumni Al-Azhar Mengarusutamakan Moderasi Islam Melalui Konferensi
Oleh
Hamzirwan Hamid
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konferensi berskala internasional tentang moderasi Islam akan kembali diadakan oleh Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Kairo Cabang Indonesia. Pada konferensi yang kedua ini akan dibahas elaborasi dari moderasi Islam dan bagaimana mengarusutamakannya.
Muncul dari keprihatinan para alumni Al-Azhar terhadap ekstremisme yang belakangan terjadi, mereka kembali mengadakan konferensi terkait moderasi Islam.
Bekerja sama dengan Forum Komunikasi Alumni Timur Tengah (FKAT) Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, acara ini akan diadakan pada 26-29 Juli 2018 di Mataram.
Tema yang diangkat pada konferensi ini adalah ”Moderasi Islam dalam Perspektif Ahlussunnah wal Jama’ah”. Moderasi atau jalan tengah dalam hal ini dianggap sebagai salah satu upaya untuk menangkal ekstremisme dalam kehidupan sosial.
”Tujuan dari kegiatan ini lebih ditekankan pada bagaimana implementasi dari moderasi Islam dalam kehidupan sosial sehari-hari,” ujar Ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Kairo (OIAA) Cabang Indonesia, yang juga Gubernur NTB, Muhammad Zainul Majdi, di Jakarta, Jumat (20/7/2018).
Konferensi tersebut menurut rencana akan dihadiri sekitar 400 tokoh Islam yang berasal dari 21 negara. Para tokoh Islam inilah yang nantinya akan melakukan sosialisasi terkait hasil konferensi ini di kelompok atau negaranya masing-masing.
Zainul, yang juga ulama NTB dengan gelar Tuan Guru Bajang (TGB), menjelaskan, moderasi Islam tidak hanya untuk kepentingan umat Islam, tetapi untuk kebutuhan bangsa.
Ia berharap gerakan moderasi Islam ini bisa terus dikokohkan. ”(Moderasi Islam) ini akan menjaga dan melindungi keutuhan kita sebagai suatu bangsa,” kata Zainul.
Tahun politik
Menjelang tahun politik, suasana panas di masyarakat harus diantisipasi. Menurut Zainul, saat ini sudah mulai ada gejala pengerasan atau militansi di masyarakat. Hal ini berakibat pada mudahnya orang melakukan pengkafiran terhadap orang lain yang memiliki perbedaan pandangan politik.
”Perbedaan pilihan politik di Indonesia tidak boleh melahirkan fatwa-fatwa keagamaan yang menganggap orang lain yang berbeda pandangan politiknya kafir,” kata Zainul.
Zainul juga berpesan supaya masyarakat bisa mendudukkan esensi-esensi keislaman secara proporsional atau pada tempatnya. Ia tidak menganjurkan ”penggunaan” ayat-ayat Al Quran dalam kontestasi politik.
Menurut Zainul, masyarakat harus mampu meletakkan agama dalam konteksnya, bukan digunakan untuk tujuan-tujuan pragmatis semata.
Kontestasi politik di Indonesia ini, bagi Zainul, adalah berlomba dalam kebaikan. Jangan sampai karena kontestasi politik malah merusak persaudaraan.
Wakil Ketua OIAA Muchlis M Hanafi mengharapkan kegiatan ini nantinya mampu menghadirkan wajah Islam yang moderat, toleran, ramah, dan damai dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara terutama di Indonesia. (KRISTI DWI UTAMI)