JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi dalam persidangan putusan uji materi terhadap Undang-Undang Pemilu, Senin (23/7/2018), menyatakan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah tidak boleh merangkap sebagai pengurus partai politik. Putusan ini didasari pandangan bahwa masuknya pengurus parpol sebagai anggota DPD membuka peluang lahirnya perwakilan ganda.
Majelis hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman tersebut memutus perkara yang diajukan oleh M Hafidz, warga negara Indonesia yang menjadi peserta pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 2014. Hafidz menguji Pasal 182 Huruf L Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait syarat pencalonan anggota DPD.
”Frasa ’pekerjaan lain’ dalam Pasal 182 Huruf L UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik,” ujar Anwar Usman saat membacakan amar putusan.
Adapun Pasal 182 Huruf L UU Pemilu berbunyi, ”Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, akuntan, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Sebelumnya, pemohon meminta pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pemohon menyampaikan, tidak adanya kejelasan perihal frasa ”pekerjaan lain” dalam Pasal 182 Huruf L UU Pemilu membuka kemungkinan untuk diartikan pengurus parpol untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Hal ini dinilai bertentangan dengan maksud asli dibentuknya DPD sebagai wujud representasi masyarakat lokal yang harus bebas dari kepentingan parpol tertentu.
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna saat membacakan pertimbangan majelis hakim konstitusi menyatakan, persyaratan anggota DPD tidak boleh menjadi pengurus atau berasal dari pengurus parpol mencegah terjadinya distorsi politik berupa lahirnya perwakilan ganda parpol dalam pengambilan keputusan, terlebih seperti perubahan UUD.
”Jika anggota DPD dimungkinkan berasal dari pengurus parpol, berarti akan terjadi perwakilan ganda dalam keanggotaan MPR, di mana partai politik yang sudah terwakili dalam keanggotaan DPR juga terwakili dalam keanggotaan DPD,” kata Palguna.
Oleh karena itu, MK menegaskan, perseorangan warga negara Indonesia yang mencalonkan diri sebagai anggota DPD tidak boleh merangkap sebagai pengurus parpol. Sementara itu, majelis hakim konstitusi juga menyatakan putusan MK ini tidak berlaku terhadap keanggotaan DPD saat ini, kecuali yang bersangkutan mencalonkan diri kembali sebagai anggota DPD setelah putusan MK ini berlaku. Adapun pengurus parpol dimaknai sebagai pengurus pusat sampai tingkat paling rendah sesuai struktur parpol.
”Dalam hal terdapat bakal calon anggota DPD yang kebetulan merupakan pengurus parpol terkena dampak oleh putusan ini, KPU dapat memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk tetap sebagai calon anggota DPD sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan parpol,” ucap Palguna.
Saat ini KPU masih memverifikasi pendaftaran calon anggota DPD untuk Pemilu 2019.