JAKARTA, KOMPAS Perempuan berperan sangat signifikan dalam perjalanan bangsa. Namun, penentuan peran masih sangat patriarkis dan penulisan sejarah pun umumnya bias jender. Karena itu, peran-peran perempuan kerap tak terpublikasi dengan baik.
Peran-peran perempuan ini dimulai sejak jauh sebelum Indonesia merdeka. Peneliti The Initiative Institute, Airlangga Pribadi, menyebutkan, hari lahir RA Kartini yang kerap hanya dirayakan dengan parade baju tradisional. Padahal, sesungguhnya Kartini memiliki pemikiran yang menginspirasi generasi berikutnya, seperti Soekarno dan Mohammad Hatta. Pemikiran-pemikiran Kartini ini membentang mulai dari soal pendidikan yang setara untuk lelaki dan perempuan sampai kemiskinan petani Jawa akibat kolonialisme dan perlawanan pada feodalisme.
Ada pula SK Trimoerti pada masa awal kemerdekaan. Wartawan perempuan ini melaporkan pendirian Republik Indonesia dan menjadi Menteri Tenaga Kerja pertama pada masa kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Amir Sjarifuddin (1947-1948).
”Akan tetapi, gaung perempuan tidak besar karena kondisi struktur politik kita belum ramah perempuan. Seharusnya peran penting perempuan ini ditulis dalam sejarah,” tutur Airlangga dalam diskusi bertajuk ”The Power of Emak-emak: Srikandi-srikadi di Lingkungan Istana” di Jakarta, Minggu (22/7/2018). Hadir sebagai narasumber lain dalam diskusi itu, peneliti LIPI, Irene Hiraswari Gayatri, pengamat politik M Qodari, dan politisi Wanda Hamidah.
Adapun perempuan di lingkaran istana yang berpengaruh secara politik saat kini, Qodari menyebut Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P, parpol asal Joko Widodo. Pendapat dan pemikiran Megawati pasti diperhatikan. Hal itu tampak sejak penyusunan kabinet dengan diakomodasinya nama-nama yang diusulkan Megawati ataupun tersingkirnya nama-nama yang ditolak Megawati.
Dalam dinamika pengambilan keputusan seperti pemilihan Kapolri dan Panglima TNI, misalnya, pendapat Megawati pun terasa muncul. ”Ini membuat hubungan Jokowi dan Megawati seakan kadang dekat, kadang jauh, kadang tarik, kadang ulur tergantung situasi,” ujarnya.
Di sisi lain, keberadaan delapan menteri perempuan di Kabinet Kerja diapresiasi. Ada tiga dimensi yang dicapai pemerintahan dan direalisasikan para perempuan menteri itu, yakni kemakmuran, kedaulatan, dan efektivitas pemerintahan. Airlangga mencontohkan, Menteri Susi Pudjiastuti menjaga kedaulatan dengan kebijakan sangat berani dengan menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan. Dengan kebijakan ini, nelayan yang awalnya hanya bisa mengambil kurang dari 40 persen sumber daya bahari, mendapat kesejahteraan lebih baik. Peran kuat juga tampak pada Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan mantan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa.