Publik Pesimistis dengan Penjaringan
Persaingan untuk meningkatkan elektabilitas pada Pemilu 2019 membuat partai politik bersikap pragmatis dalam merekrut calon anggota legislatif. Parpol lebih memprioritaskan bakal caleg dengan popularitas tinggi sehingga mengabaikan aspek loyalitas, integritas, dan profesionalitas mereka.
Seiring berakhirnya masa pendaftaran bacaleg oleh Komisi Pemilihan Umum, publik mencermati sepak terjang parpol selama proses perekrutan caleg, mulai dari seleksi hingga pendaftaran ke KPU. KPU telah menerima 8.401 berkas calon dari 80 daerah pemilihan yang didaftarkan oleh 16 parpol peserta pemilu hingga waktu penutupan, 17 Juli 2018.
Publik pesimis dengan kualitas caleg yang dijaring oleh parpol. Persepsi ini muncul lantaran parpol menunjukkan pragmatisme politik dalam merekrut caleg. Sejumlah parpol yang kurang percaya diri dengan potensi kadernya berlomba-lomba menjaring figur populer, terutama figur publik dan pejabat publik untuk mendongkrak elektabilitas. Wajar jika kemudian fenomena politisi loncat pagar atau kutu loncat, caleg transferan, hingga politisi dadakan mengiringi proses rekrutmen caleg 2019.
Fenomena ini terekam jelas dalam jajak pendapat Kompas pekan lalu yang menyoroti pendaftaran caleg yang dilakukan oleh parpol. Jajak pendapat ini mengungkapkan, publik pesimistik dengan komitmen parpol untuk meningkatkan kualitas demokrasi melalui sistem rekrutmen caleg yang baik. Parpol lebih mengutamakan caleg yang potensial menguntungkan elektabilitasnya, sehingga mengabaikan nilai-nilai utama dari kualitas individual caleg yaitu loyalitas, integritas, profesionalitas, dan rekam jejak.
Hasil jajak pendapat ini mengontraskan jawaban responden ke dalam dua kubu yang seimbang dalam menyikapi fenomena mencuatnya caleg populer ketimbang caleg berintegritas. Kubu yang pertama adalah responden yang setuju bahwa fenomena ini muncul karena ulah parpol. Hampir separuh bagian responden (48,2 persen) menyatakan, dalam merekrut caleg parpol lebih mengutamakan popularitas ketimbang loyalitas dan komitmen terhadap kinerja.
Kubu yang sebaliknya adalah reponden yang menolak bahwa caleg populer sekarang lebih dominan disebabkan oleh sistem dan mekanisme rekrutmen caleg dari parpol. Mereka tidak setuju jika dikatakan rekrutmen caleg sekarang lebih mengutamakan popularitas. Proporsi responden yang berada di kubu ini seimbang dengan kubu pertama, yaitu 48,3 persen.
Fenomena Caleg
Di sisi lain, jajak pendapat ini juga berhasil memotret sikap responden terkait fenomena caleg transferan. Responden mencermati, parpol saat ini lebih masif dalam merekrut caleg yang diambil dari parpol lain, baik anggota DPR maupun kader potensial. Lebih dari separuh bagian (53,4 persen) responden setuju parpol merekrut anggota DPR/kader dari partai lain sebagai caleg untuk meningkatkan elektabilitas.
Setidaknya, terdapat 10 partai yang mengusung calon berlatar belakang pesohor atau artis.
Langkah parpol dalam mencalonkan sosok yang memiliki popularitas tinggi terutama para pesohor dan pejabat publik menjadi strategi jitu untuk menutupi kegagalan partai dalam melakukan kaderisasi politik. Setidaknya, terdapat 10 partai yang mengusung calon berlatar belakang pesohor atau artis. Partai Nasdem dan PDIP paling banyak mendaftarkan bacaleg artis. Nasdem mengusung 25 artis, sedangkan PDIP 10 artis.
Hasil penelusuran Litbang Kompas mengungkapkan, bursa caleg artis pada Pemilu 2019 meningkat dibanding Pemilu 2014. Caleg artis yang sudah terdaftar untuk Pemilu 2019 berjumlah 70 orang sementara pada Pemilu 2014 sebanyak 60 orang.
Parpol juga mengusung kembali kader yang duduk di kursi dewan untuk memanfaatkan popularitas figur. Tidak hanya kadernya, parpol juga mendaftarkan kader “dadakan” hasil transfer antar partai. Data terakhir, terdapat 19 politisi Senayan yang memutuskan berganti pengusung.
Partai Nasdem menjadi partai terbanyak yang menerima politisi yang juga anggota DPR RI dari partai lain yaitu mencapai 14 orang. Sebanyak 5 anggota dewan dari Hanura kini berlabuh di Nasdem. Begitu juga dengan 4 politisi Demokrat dan 2 politisi PAN. Ditambah dengan 3 politisi masing-masing dari PPP, PKB, dan Gerindra.
Sebaliknya, Hanura paling banyak kehilangan kader. Selain ke Nasdem, dua politisi Hanura juga pindah ke PAN, 3 lainnya ke PPP, PAN, dan PKS. Sementara dari Golkar hanya 2 politisinya yang pindah ke Partai Berkarya. Jumlah politisi yang berpindah partai kali ini lebih banyak dibanding lima tahun lalu. Harian Kompas edisi 6 April 2013 memberitakan, hanya 4 politisi yang pindah partai.
Munculnya perilaku oportunis para politisi yang gampang berganti parpol ketika pemilu dipicu oleh longgarnya parpol dalam menerapkan prinsip loyalitas caleg kepada parpol dan konstituennya. Kondisi ini ditambah dengan kalkulasi politisi yang selalu ingin menang dalam pemilu. Perilaku oportunis politisi dan sikap pragmatis parpol ini menghasilkan caleg dengan kadar loyalitas yang rendah. Fenomena ini juga dirasakan oleh responden.
Hasil jajak pendapat mengungkapkan rendahnya optimisme responden terhadap komitmen parpol dalam membentuk loyalitas caleg. Responden yang meyakini bahwa parpol menjadikan aspek loyalitas kepada konstituen dan partai sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh para caleg ternyata tidak mencapai separuhnya (48,1 persen).
Kontras
Dalam mencermati komitmen parpol terhadap upaya peningkatan kualitas caleg pada Pemilu 2019, pesimisme publik masih terasa. Meskipun 56,2 persen responden yakin parpol sudah menjadikan poin bebas dari indikasi korupsi sebagai syarat untuk menjadi calegnya namun ada 41 persen responden lainnya yang tidak meyakini hal itu. Munculnya nama sejumlah bekas napi korupsi di sejumlah parpol membuat sebagian publik kembali mempertanyakan komitmen pemberantasan korupsi. Apalagi, KPU sudah mengeluarkan PKPU yang melarang caleg dengan kategori mantan napi ini.
Di sisi lain, persaingan antarcaleg untuk memenangkan satu kursi pada Pemilu 2019 mengalami peningkatan. Pada Pemilu tahun depan caleg akan memperebutkan 575 kursi DPR RI. Jika diasumsikan seluruh bacaleg lolos tahap verifikasi, peluang untuk mendapatkan satu kursi di DPR adalah 1:14. Peluang ini lebih kecil daripada Pemilu 2014 yang diikuti 6.607 caleg. Saat itu, para calon memperebutkan 550 kursi di 77 dapil dengan peluang 1: 12.
Sementara itu, aspek popularitas yang saat ini sangat diagung-agungkan oleh parpol justru menempati peringkat paling rendah dari ekspektasi responden.
Persaingan yang makin sengit bisa jadi mendorong parpol untuk lebih memprioritaskan popularitas sosok saat memasukkan namanya ke daftar bacaleg. Tingginya popularitas caleg sebagai salah satu syarat yang dipakai parpol diyakini 56,5 persen responden. Padahal, nilai utama yang paling diharapkan publik dari seorang caleg adalah rekam jejak yang baik. Dalam hal ini 43,2 persen responden lebih mengutamakan aspek bersih dari perilaku korup sebagai nilai utama dari seorang caleg. Aspek integritas dan loyalitas berada pada peringkat berikutnya.
Sementara itu, aspek popularitas yang saat ini sangat diagung-agungkan oleh parpol justru menempati peringkat paling rendah dari ekspektasi responden. Hanya 2 persen responden yang menyatakan popularitas sebagai aspek utama yang harus dimiliki seorang caleg.
Kesenjangan antara keinginan publik dengan prioritas partai dalam menjaring caleg menggambarkan orientasi parpol yang kental motif untuk meraup kemenangan. Dengan proses seperti ini, pertanyaan mengenai kadar loyalitas dan integritas caleg yang terpilih layak diajukan. Jika proses perekrutan seperti ini terbukti kembali terjadi di masa depan maka tidak ada perbaikan dalam kualitas demokrasi kita.