JAKARTA, KOMPAS—Teladan Gus Dur tentang toleransi dalam kehidupan berbangsa masih menjadi acuan utama untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam konteks Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya dan agama, persatuan bangsa tidak akan tercapai tanpa saling pengertian antar-umat. Perjuangan menyelesaikan persoalan bangsa tidak dapat dilakukan dengan politik identitas.
Peneliti Utama Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekaligus penulis Mochtar Pabottingi mengatakan, tidak ada figur cendekiawan muslim yang dapat menandingi Abdurrahman Wahid dalam penghormatan terhadap hak minoritas. Sebuah komunitas dapat tidak dapat menjadi suatu bangsa apabila masih terdapat diskriminasi antarkelompok.
“Beberapa tokoh Islam terkenal atas pemikirannya yang memadukan ke-Indonesia-an dengan ke-Islam-an. Namun, tidak ada yang dapat menandingi Gus Dur dalam penghormatan terhadap hak minoritas. Bangsa tidak dapat terbentuk jika masih ada diskriminasi,” kata Mochtar.
Hal ini diungkapkan dalam peluncuran dan bedah buku Hari-hari Terakhir Bersama Gus Dur karya Bondan Gunawan, Rabu (25/7/2018) di Museum Nasional, Jakarta. Hadir pula sebagai pembicara Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Yudi Latif.
Keteladan Gus Dur dalam toleransi terhadap minoritas tecermin semasa menjabat presiden Indonesia pada 1999-2001. Salah satu kebijakannya adalah pencabutan Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Instruksi tersebut mengarahkan agar warga negara Indonesia dari etnis Tionghoa tidak merayakan hari besar keagamaan maupun adat istiadat secara mencolok di depan umum.
Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres tersebut akhirnya mengizinkan warga etnis Tionghoa merayakan Imlek dan Cap Go Meh secara terbuka.
Mochtar mengatakan, dari Gus Dur, umat Islam dapat memahami persaudaraan antar-umat Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan sebagai bangsa (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan dengan sesama manusia (ukhuwah basyariyah). Karena itu, umat Islam diajak untuk mengutamakan wawasan dan pendekatan kebangsaan dalam menjaga persatuan bangsa.
Perjuangan
Buku Hari-hari Terakhir Bersama Gus Dur menceritakan perjuangan Gus Dur bersama Bondan Gunawan untuk mewujudkan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Salah satu wadah perjuangan tersebut adalah pembentukan Forum Demokrasi (Fordem) pada 1991. Pembentukan Fordem tetap sukses meskipun Gus Dur berlatar belakang Santri, sedangkan Bondan berlatar belakang nasionalis.
Ini menunjukkan bahwa perbedaan pandangan maupun identitas bukan menjadi pemecah bangsa. Sebaliknya, perbedaan dapat saling melengkapi untuk mencapai cita-cita demokrasi yang diidealisasikan di akhir masa Orde Baru.
Yudi mengatakan, demokrasi Indoensia saat ini mengalami krisis legitimasi dan efisiensi. Kesenjangan ekonomi yang membutuhkan respons kebijakan malah berujung pada usaha untuk mengubah tatanan politik tertentu yang hanya diinginkan satu kelompok identitas.
“Perhatian politisi dan masyarakat Indonesia saat ini terkecoh pada ornamen perbedaan identitas. Padahal, identitas bukan masalah yang harus diselesaikan. Isu sesungguhnya adalah kesenjangan dan ketidakadilan. Harusnya direspon oleh kebijakan yang mengarah ke sana, bukan dengan narasi2 identitas,” kata Yudi. Ia menambahkan, politik identitas tidak akan menjawab masalah kesenjangan saat ini.
Menurut Yudi, sosok Gus Dur memiliki kematangan dalam memperjuangkan keadilan. Namun, cara dia memperjuangkan keadilan tidak dengan merobek persatuan dengan politik identitas. “Keadialn tidak bisa diperjuangkan tanpa persatuan. Jadi, politisi saat ini perlu mengajak seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai kelompok agama, suku, dan ras untuk bekerja sama,” kata Yudi. (Kristian Oka Prasetyadi)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.