Problematika Usang Lembaga Pemasyarakatan
“Pak, sudah berapa minggu air panas untuk mandi tidak ada. Hanya ada air dingin,” keluh seorang narapidana korupsi kepada Menkumham Yasonna H Laoly ke Rumah Tahanan Sialang Bungkuk, Pekanbaru pada awal Mei 2017. Yasonna seolah tak tahu. Ironis, gedung lain di rutan tersebut yang tidak dihuni napi korupsi justru kekurangan pasokan air bersih.
Sekarang, sulit rasanya membicarakan efek jera untuk pelaku korupsi. Selama praktik mafia hukum menjalankan bisnis kotor di lembaga pemasyarakatan yang bercokol sejak lama masih tumbuh subur, bahkan membuat koruptor hidup makmur dalam menjalani masa hukumannya.
Berbagai macam formula memberantas korupsi pun menjadi mentah. Sejatinya, sistem pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, termasuk dalam menindak pidana korupsi. Keseriusan penegak hukum dalam menindak dan tingginya vonis hakim menjadi kosong saat sistem pemasyarakatan rentan disuap.
Namun, operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat (20/7) dan Sabtu (21/7) terhadap Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Wahid Husen mengungkap borok yang sesungguhnya sudah menjadi rahasia umum. Jual beli fasilitas, jual beli izin, hingga bisnis mengurus remisi dan pembebasan bersyarat menjadi kerja sambilan pejabat di lembaga pemasyarakatan.
Setelah sekian lama, KPK baru kali ini berhasil masuk untuk menindak. Kongkalikong antara Wahid dengan terpidana korupsi perkara pengadaan satelite monitoring di Badan Keamanan Laut RI Fahmi Darmawansyah dan terpidana pidana umum Andri Rahmat terendus dari laporan masyarakat. Belum lagi, dua terpidana yaitu mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin, adik Ratu Atut Chosiyah yakni Tubagus Chaeri Wardhana yang tak berada di tahanan saat KPK datang.
Pada periode 2008, KPK telah melakukan Survei Integritas Sektor Publik. Lembaga Pemasyarakatan masuk menjadi salah satu yang disurvei. Hasilnya nyaris semua skor pelayanan di lembaga pemasyarakatan jauh di bawah rata-rata. Bahkan peringkatnya berada di ranking 103 dari 105 unit layanan yang disurvei.
Ada enam indikator yang dibagi lagi menjadi 11 sub-indikator dalam survei tersebut. Dari 11 elemen tersebut, hanya satu yang memperoleh skor tinggi yaitu kebutuhan kontak di luar prosedur yaitu 8,24. Sementara hal yang lainnya, skornya tidak mencapai angka 5. Adapun tiga yang terendah adalah penawaran dan pemberian gratifikasi (0,77), nilai atau jumlah gratifikasi (1,91), dan keadilan dalam layanan (2,40).
Selanjutnya, ada masukan dari bidang pencegahan KPK untuk tiga aspek yakni aspek kelembagaan, aspek tata laksana, dan aspek sumber daya manusia. Lembaga anti rasuah pun melakukan pemantauan selama dua tahun. Akan tetapi, tidak ada perubahan yang berarti sehingga keseriusan dari Kementerian Hukum dan HAM pun dipertanyakan.
Terbukti pada 2010, Artalyta Suryani, terpidana kasus suap jaksa, terungkap menghuni sel yang mewah di Rumah Tahanan Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur. Kemudian, Gayus Tambunan juga kedapatan asyik menonton pertandingan tenis di Bali padahal statusnya masih menjadi tahanan karena kasus mafia pajak.
Kemudian pada 2013, ada mantan Gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin yang merupakan terpidana korupsi dan Freddy Budiman, terpidana narkoba yang juga menghuni sel mewah. Berulang pada 2017, sel milik Haryanto Chandra terpidana tindak pidana pencucian uang di LP Cipinang juga kedapatan hal yang serupa. Disusul awal 2018, salah satu sel terpidana narkoba di LP Banda Aceh juga memiliki fasilitas lengkap.
Pengulangan ini bukan menjadi pembelajaran. Alih-alih mengikis budaya dan memberantas jejaring mafianya, Kemenkumham merasa cukup dengan pencopotan pejabat. Dalam acara bincang-bincang Satu Meja bertajuk “Korupsi di Lapas Koruptor” yang dipandu Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Senin (23/7), hadir Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Sri Puguh Budi Utami, Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, pakar hukum Asep Iwan Iriawan, dan mantan Wakil Menkumham Denny Indrayan melalui sambungan teleconference.
Utami menjelaskan pihaknya tengah menyusun konsep revitalisasi secara holistik. Nantinya akan ada pemisahan lapas sesuai kebutuhannya. Antara lain, super maximum security untuk terpidana yang berisiko tinggi, maximum security diperuntukkan bagi mereka yang butuh pembinaan mental. Ada medium security yang memerlukan pembinaan kemandirian dan keterampilan, serta minimum security yang menghasilkan produk barang dan jasa.
“Penguatan kapasitas sumber daya manusia tetap menjadi target kami supaya revitalisasi ini berjalan. Sekai lagi, saya sepakat bahwa penguatan integritas SDM itu nomor satu. Meski saya tidak bisa memungkiri, kejadian ini menjadi pukulan telak bagi kami,” ujar Utami.
Febri pun membuka peluang kerja sama dengan Kemenkumham, terutama Ditjen Pemasyarakatan apabila benar-benar serius ingin memperbaiki. Hasil survei yang dilakukan setidaknya dapat menjadi panduan yang selanjutnya bisa dikembangkan. “Kode etik sebenarnya sudah ada, aturan gratifikasi juga sudah ada. Tapi apakah itu sudah ditegakkan? Itu yang perlu direvitalisasi, termasuk pengawasan internalnya,” ujar Febri.
Kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara dari para kalapas pun disoroti. Dari 107 orang, hanya 39 orang. Sedangkan Kemenkumham secara keseluruhan, dari 5.832 wajib lapor, baru 1.429 orang yang menyerahkan laporan. “Padahal LHKPN ini dapat menjadi tolok ukur, karena salah satu hasil korupsi ya kekayaan. Jika ada kekayaan yang tidak sesuai dengan pendapatan maka inspektorat akan lebih mudah,” kata Febri.
Sementar itu, Arsul sependapat hal ini berkaitan dengan persoalan integritas dan penuntasannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Salah satu sarannya adalah Menkumham aktif melakukan inspeksi mendadak. Asep menyarankan urusan lapas ditangani oleh lembaga mandiri mengingat kejadian seperti ini tidak bias dilepaskan dari tekanan terhadap kalapas yang dilakukan tahanan. “Pengaruh tekanan ini besar sekali. Yang ditahan tokoh politik, menterinya juga tokoh politik. Ada hubungan kepentingan di situ. Tekanan seperti itu yang kemudian berpengaruh ke karir seseorang, ya selamanya orang terbaik akan jadi korban,” kata Asep.
Denny pun mengungkap, banyak tahanan yang memang mencatut nama Presiden hingga Menteri untuk mengancam pejabat lapas. Tidak hanya itu, suap rupanya juga menjadi budaya di lapas. Hal ini terungkap saat melakukan seleksi terbuka untuk posisi Kalapas Sukamiskin saat itu. “Ada tujuh orang terbaik yang lolos saat itu. Lalu saya tanya apakah masih menerima pungli? Lima dari tujuh orang itu mengaku masih rutin menerima pungli. Itu yang terbaik seperti itu. Jadi konsep yang ada di meja dan selalu dibahas tidak akan pernah bisa dijalankan secara efektif,” kata Denny.
Pada akhirnya, ungkapan menyesal, permintaan maaf, dan kegeraman tidak akan ada artinya. Selama keseriusan memutus mata rantai mafia hukum di lapas hanya sebatas wacana. Koruptor pun tak akan pernah jera.