JAKARTA, KOMPAS - Dewan Perwakilan Daerah diharapkan tidak sebatas mengeluarkan rekomendasi penghentian revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang diinisiasi oleh DPR. Seharusnya DPD juga mampu memengaruhi DPR agar mengurungkan niatnya saat pembahasan revisi.
Apalagi tak hanya DPD yang menolak revisi itu. Tidak sedikit kalangan akademisi yang juga menolaknya karena revisi bertentangan dengan arah dari reformasi birokrasi.
Anggota Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional, Siti Zuhro, saat dihubungi, Jumat (27/7/2018), mengatakan, sekalipun DPD tidak memiliki kewenangan untuk menyetujui pengesahan rancangan undang-undang (RUU) seperti DPR, tetapi DPD memiliki kewenangan untuk ikut membahasnya bersama dengan DPR dan pemerintah.
Saat proses pembahasan itulah DPD diharapkan mampu memengaruhi DPR supaya proses pembahasan revisi UU No 5/2014 berjalan selaras dengan rekomendasi yang diputuskan oleh DPD dalam Sidang Paripurna DPD, Kamis (26/7).
Dalam Sidang Paripurna DPD itu, DPD merekomendasikan kepada DPR dan pemerintah untuk menghentikan proses revisi UU No 5/2014. Sebab, materi revisi tak sesuai dengan arah reformasi birokrasi diantaranya, rencana penghapusan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan pengangkatan tenaga honorer secara otomatis, secara bertahap, paling lama tiga tahun.
Reformasi birokrasi terancam
Menurut Wakil Ketua DPD Akhmad Muqowam, KASN dibutuhkan untuk memonitor dan mengevaluasi kebijakan dan manajemen ASN. Ini termasuk memastikan terwujudnya sistem merit atau sistem penilaian secara obyektif sesuai kualifikasi dan kompetensi di setiap tahap manajemen kepegawaian ASN, mulai dari perekrutan, pengangkatan, penjenjangan karier, dan penempatan dalam jabatan. Dengan demikian, jika KASN dihapus, sistem merit sebagai salah satu hal penting dalam reformasi birokrasi terancam gagal.
Praktik jual-beli jabatan di pemerintahan, seperti pernah diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, akan kian marak. Ditambah lagi, hal itu mengancam pula prinsip netralitas dari ASN yang kerap kali dilanggar setiap kali pemilu digelar.
Adapun mengenai pengangkatan honorer secara langsung, DPD menilai pola itu mengabaikan sistem merit. Itu berpotensi melahirkan PNS yang tak memiliki kualifikasi dan kompetensi. ”Jadi, kalaupun akan ada pengangkatan honorer menjadi PNS, harus tetap mengedepankan sistem merit sehingga honorer yang diangkat bisa menjadi PNS yang profesional,” tambahnya.
Keputusan dan sikap dari DPD itu, menurut Siti Zuhro, sejalan dengan pemikiran dan kajian dari Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional dan banyak akademisi.
Sementara Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo mengatakan, rekomendasi DPD akan menjadi masukan dalam merevisi UU ASN. Namun, proses revisi yang kini berlangsung tidak mungkin dihentikan. Sebab, revisi UU ASN penting untuk memperjelas status para honorer.