Budaya Suap Mencengkeram Lapas
Praktik suap dan jual beli fasilitas sel penjara terus terjadi. Citra lembaga pemasyarakatan pun terpuruk. Para sipir yang seharusnya merehabilitasi narapidana justru masuk lingkaran suap.
Pekan lalu media massa ramai memberitakan operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Kepala Lapas Sukamiskin, Bandung, Wahid Husen, beserta stafnya Hendri Saputra, dan terpidana korupsi Fahmi Darmawansyah. Dalam operasi tersebut terkuak tentang praktik suap dan jual beli fasilitas sel penjara di Lapas Sukamiskin. Pemberitaan ini cukup menyedot perhatian masyarakat umum.
Hasil Jajak Pendapat Kompas menyebutkan tak kurang dari 60,3 persen responden terus mengikuti pemberitaan tentang kasus tersebut. Animo tinggi dalam mengikuti pemberitaan ini didorong oleh keprihatinan publik terhadap praktik kotor yang terjadi di lembaga pemasyarakatan yang terus berulang.
Tak lama setelah OTT, Lapas Sukamiskin pun digeledah. Hasilnya, ditemukan sel penjara mewah yang berisi berbagai barang elektronik serta ratusan juta uang tunai, terutama di dalam sel yang dihuni napi korupsi. Peristiwa tersebut bagi responden dianggap cukup menggemparkan karena penjara yang seharusnya menjadi tempat rehabilitas terpidana diubah menjadi serupa apartemen pribadi.
Dengan gambaran tersebut, hasil jajak mengungkapkan bahwa hampir seluruh responden (90,4 persen) yakin jika selama ini praktik suap antara aparat penjara dan narapidana bukan lagi hal asing. Bahkan hampir 90 persen responden menyatakan praktik suap tersebut sudah dalam taraf yang buruk. Tak mengherankan jika kemudian citra lembaga pemasyarakatan (lapas) di mata publik pun ikut suram.
Sebanyak 80,4 persen responden menyatakan citra lembaga pemasyarakatan buruk. Hubungan “saling menguntungkan” antara aparat penjara dan narapidana semakin mempertegas indikasi bobroknya sistem penjara di Indonesia.
Berulang
Terungkapnya kasus sel penjara mewah tidak hanya kali ini saja terjadi. Kasus sel penjara Artalyta Suryani, terpidana penyuap jaksa Urip Tri Gunawan di Rumah Tahanan Wanita Pondok Bambu Jakarta Timur, sel mewah terpidana pencucian uang Haryanto Chandra di LP Cipinang, sel terpidana kasus narkoba Freddy Budiman di LP Cipinang, serta sel mewah mantan gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin di Lapas Sukamiskin.
Kasus-kasus itu adalah kasus yang tersorot media massa. Patut diduga masih banyak kasus lain yang tidak terekspos media. Berulangnya kasus semacam itu mengindikasikan sistem penjara yang korup dan dijalankan oleh semacam “mafia” penjara. Hal itu dibuktikan oleh informasi dari Wakil Ketua KPK Laode M Syarif yang menyampaikan adanya tarif untuk memperoleh sel yang bisa direnovasi, yaitu Rp 200 juta-Rp 500 juta (Kompas, 22/7/2018).
Bisa jadi sistem penjara yang korup tersebut terjadi di lembaga pemasyarakatan secara umum. Tetapi, berkaca dari kasus-kasus yang diekspos media, sistem penjara yang korup terjadi massif di lapas khusus kasus korupsi.
Responden jajak pendapat melihat adanya tiga faktor yang saling berkaitan dan menyebabkan kasus suap merebak di penjara. Faktor pertama adalah sistem penjara yang korup sehingga menyebabkan pengawasan lemah (33,7 persen). Sistem seperti ini mengindikasikan bahwa seluruh elemen lembaga penjara turut terlibat, mulai dari sipir, napi, hingga para pejabat yang membawahi lembaga pemasyarakatan, setidaknya dalam soal pengawasan yang lemah.
Faktor berikutnya menyangkut para napi koruptor yang dianggap masih memiliki sumber ekonomi yang kuat (32,9 persen) sehingga cenderung terus berupaya memperoleh kenyamanan di hotel prodeo. Hal terakhir yang disorot publik jajak pendapat adalah fasilitas penjara yang buruk (15,4 persen) serta indikasi keterlibatan pejabat pemasyarakatan di level yang lebih tinggi (13,9 persen).
Fasilitas penjara yang buruk umumnya dipicu oleh persoalan kelebihan kapasitas (over capacity) yang melingkupi hampir seluruh penjara di Indonesia. Persoalan kelebihan kapasitas tersebut pernah beberapa kali memicu kerusuhan yang mengakibatkan sejumlah napi melarikan diri, korban luka-luka maupun kerusakan fasilitas penjara.
Publik juga menyoroti sisi individu para sipir dan napi. Menurut publik, banyak sipir penjara mudah disuap karena faktor perilaku korup yang sudah membudaya (34,9 persen) baik di kalangan sipir maupun napi. Sistem pengamanan dan pengawasan lapas yang tidak ketat juga membuka celah untuk menyuap (23,7 persen).
Hukuman
Budaya korup yang telah membelenggu dinilai publik berkaitan dengan hukuman yang selama ini dijatuhkan kepada para koruptor belum memberi efek jera. Hampir seluruh responden menyatakan hal tersebut.
Seorang responden yang berdomisili di Palembang menyatakan, “Sekalipun napi koruptor dipenjara di pulau terluar atau terpencil, hal itu tidak akan membuat jera karena koruptor masih punya uang banyak sehingga bisa membeli fasilitas di penjara.”
Oleh karena itu, publik berpendapat ada dua bentuk hukuman yang kemungkinan besar bisa membuat jera koruptor yaitu dimiskinkan dengan menyita seluruh hartanya (34 persen) dan hukuman mati (33,8 persen).
Bentuk hukuman mati ini disuarakan oleh sebagian publik jajak pendapat karena perilaku korup yang telah membudaya dan merasuk ke dalam sistem penjara di Indonesia. Seorang responden di Medan menyatakan, “Hukuman mati akan membuat koruptor berpikir ulang sebelum melakukan tindakan korupsi dan bisa membuat takut calon koruptor.”
Tentang bentuk hukuman terhadap napi korupsi yang merupakan pejabat tinggi negara, hampir seluruh responden (91,8 persen) sepakat jika napi tersebut dicabut hak politiknya.
Pembenahan
Bagaimanapun, pembenahan sistem di lembaga pemasyarakatan merupakan hal yang mendesak dilakukan. Publik menilai pengawasan dari pemerintah pusat terhadap manajemen lapas adalah hal penting yang harus dilakukan (40,3 persen), memperbaiki aturan terkait lembaga pemasyarakatan (20,8 persen), serta memperbaiki sistem keamanan penjara (17,4 persen).
Lebih dari separuh responden optimis jika pemerintah akan mampu memperbaiki sistem penjara untuk mencegah berulangnya kasus suap yang selama ini berulang kali terjadi. Integritas pemerintah dipertaruhkan dalam mereformasi lapas, sehingga menegakkan aturan di lapas tidak sekadar menegakkan benang yang basah.