JAKARTA, KOMPAS — Perluasan peran Kepolisian Negara RI di bidang pencegahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mulai dioptimalkan tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri. Selama akhir pekan lalu, sebanyak 13 terduga teroris ditangkap karena terkait jaringan teroris dan persiapan aksi teror di masa lalu.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Mohammad Iqbal menjelaskan, operasi penangkapan terduga teroris itu dilaksanakan di wilayah Pekanbaru, Riau, dan Serang, Banten, pada Jumat (27/7/2018). Seluruh terduga teroris yang ditangkap, katanya, memiliki keterkaitan kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan pernah terlibat dalam perencanaan aksi teror.
Di Riau, tim Densus 88 Antiteror menangkap lima terduga teroris karena memiliki hubungan dengan kelompok JAD di wilayah Riau dan Sumatera Selatan. Mereka adalah AHD, NSR, RSL, RH, dan MPA.
Sementara itu, delapan terduga teroris yang ditangkap di wilayah Banten ialah AS, NVR, AD, ARM, IDO, STO, SDR, dan JRM. Mereka adalah anggota kelompok JAD Banten yang pernah melakukan pelatihan para militer di daerah Pulosari, Kabupaten Pandeglang, Banten, 22 Januari 2017. Bahkan, ARM pernah pula ikut serta dalam perencanaan aksi teror pada akhir 2016 yang akan dilakukan di wilayah Banten.
”Penangkapan itu adalah upaya pencegahan yang dilaksanakan tim Densus 88 Antiteror. Kami akan berikan tindakan tegas kepada siapa pun yang berencana menganggu keamanan dan ketertiban masyarakat,” ujar Iqbal, Minggu (29/7/2018), di Jakarta.
Langkah pencegahan itu, katanya, sesuai dengan sejumlah aturan baru di UU No 5/2018, terutama Pasal 12B dan Pasal 13A. Dalam Pasal 12B diatur ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara kepada setiap orang yang menyelenggarakan pelatihan paramiliter, merekrut orang untuk pelatihan itu, serta menyebarkan paham radikal.
Kemudian, pada Pasal 13A tercantum ancaman pidana penjara paling lama lima tahun kepada setiap individu yang memiliki hubungan dengan organisasi teroris.
Peneliti antiterorisme Certified Counter Terrorism Practioner, Rakyan Adibrata, menilai, upaya pencegahan yang dilakukan aparat diperlukan karena karakter JAD, yang merupakan sel kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), berbeda dengan aktivitas kelompok Jamaah Islamiyah (JI) di awal 2000-an. Apabila JI memiliki momen-momen yang khusus dirayakan untuk melaksanakan aksi teror, sedangkan JAD hanya berpatokan kepada kesempatan yang ada tanpa memedulikan tanggal tertentu.
”Mereka (JAD) akan menyerang kapan pun ketika ada kesempatan. Misalnya, kasus kerusuhan di Markas Komando Brigade Mobil Polri, April lalu, dianggap sebagai kesempatan untuk melakukan aksi, sedangkan persiapan telah dilakukan jauh hari,” kata Rakyan.
Selain kesempatan, sel NIIS dinilai akan melakukan aksi berdasarkan instruksi dari pimpinan mereka yang disebarkan melalui media sosial. Atas dasar itu, pengamat terorisme, Al Chaidar, menganggap, tim Densus 88 Antiteror juga perlu meningkatkan pengawasan komunikasi sel-sel NIIS yang aktif di dunia maya.
”Serangan teror sangat dipengaruhi seruan yang bersifat teologis sehingga media komunikasi perlu dicermati sungguh-sungguh untuk dapat mengantisipasi rencana aksi teror,” ujarnya.