JAKARTA, KOMPAS – Pengajuan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa tidak dimaksudkan semata-mata untuk meringankan hukuman terpidana atas suatu perkara. Namun, PK bertujuan untuk memperbaiki suatu putusan hukum yang keliru karena berbagai hal. Oleh karenanya, maraknya pengajuan PK ke Mahkamah Agung oleh sejumlah terpidana kasus korupsi harus disikapi dengan hati-hati dan profesional oleh MA.
Pengajar hukum pidana dari Universitas Parahyangan Bandung, Agustinus Pohan, yang dihubungi dari Jakarta, Sabtu (28/7/2018), mengatakan, masuknya sejumlah perkara PK ke MA jangan sampai dijadikan pola oleh terpidana kasus korupsi sebagai salah satu jalan untuk meringankan hukuman mereka. Alasan pengajuan PK itu diharapkan dicermati oleh para hakim di tingkat pertama sebelum pengajuan PK dibawa ke hakim agung.
“MA harus profesional dalam penanganan perkara PK, utamanya dalam kasus korupsi. Kendati tidak ada bukti bahwa maraknya pengajuan PK itu karena hakim Artidjo telah pensiun, tetapi fenomena ini jelas ada hubungannya dengan pensiunnya Artidjo. Oleh karena itu, pengajuan PK ini sekaligus menjadi ujian bagi MA, apakah mereka bergantung pada seorang semata, ataukah secara sistematis telah solid dengan putusan yang dijatuhkannya melalui putusan majelis,” kata Pohan.
Data sementara dari MA menunjukkan, setelah mantan hakim agung Artidjo Alkostar pensiun Juni lalu ada 18 perkara PK dalam kasus pidana yang saat ini diproses di pengadilan. Dari 18 kasus pidana itu, enam di antaranya diajukan oleh terpidana kasus korupsi. enam orang itu ialah mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari, mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Muhammad Sanusi, dan advokat Raoul Aditya Wiranatakusumah.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah mengatakan, dari 18 pengajuan PK kasus pidana itu selanjutnya akan diperiksa oleh majelis hakim agung di kamar pidana, tempat Artidjo dulu menjabat ketua kamar. “Sebagian besar masih dalam pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama. Setelah pemeriksaan tuntas di pengadilan negeri (PN), baru berkas dikirim ke MA. Sebagai judex jurist, MA hanya memeriksa berkas, bukan lagi fakta-fakta persidangan,” katanya.
Dari enam terpidana kasus korupsi, baru satu perkara yang telah putus, tetapi masih dalam tahap minutasi, yakni perkara PK yang diajukan oleh Raoul Aditya Wiranatakusumah. Adapun perkara-perkara lainnya, seperti Anas, Suryadharma Ali, Siti Fadillah, dan Jero Wacik, saat ini masih tahap pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.
Dari enam terpidana korupsi yang tengah diperiksa perkaranya itu, ada dua alasan utama mereka mengajukan PK, yakni adanya bukti baru atau novum, dan kekhilafan hakim.
Pohan mengatakan, dua alasan utama itu bukan sesuatu yang mudah dibuktikan oleh pemohon. Untuk keberadaan novum, misalnya, ada syarat ketat, yakni apakah bukti baru itu bilamana diketahui sebelumnya bisa mengubah putusan.
“Jadi kalau hanya sekadar bukti baru saja, tetapi kalau pun diketahui sebelumnya tidak akan mengubah putusan, itu tidak memenuhi syarat. Kedua, bisa saja bukti itu sedari dulu memang sudah ada, tetapi baru sekarang diungkapkan. Kalau baru saja diungkapkan, itu menjadi risiko atau kesalahan dari pihak terpidana, karena seharusnya tidak perlu ada bukti yang ditahan untuk diungkapkan di dalam pengadilan,” kata Pohan.
Dalam hal kekhilafan hakim, menurut Pohan, hal itu hanya bisa terjadi bila hakim memutus suatu perkara tidak mengikuti ketentuan hukum yang berlaku. Contohnya, hakim memutus pidana melebihi dari hukuman maksimal yang diatur di dalam undang-undang (UU), atau lebih rendah dari hukuman minimal.
“Kalau hakim dinilai khilaf hanya karena terpidana merasa hukumannya terlalu berat, itu tentu pandangan subyektif terpidana. Sepanjang putusan itu tidak menyalahi ketentuan hukum apapun, kekhilafan hakim itu sulit diukur. Majelis hakim punya hak memutus berdasarkan pandangan keadilan mereka,” ujarnya.
Pendekatan berbeda
Sementara itu, hingga saat ini belum ada yang menggantikan Artidjo sebagai ketua kamar pidana. Pemilihan ketua kamar itu sepenuhnya menjadi kewenangan dari pimpinan MA.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Oce Madril, mengatakan, MA idealnya mencari pengganti ketua kamar pidana dengan keberanian dan konsistensi yang setara dengan Artidjo dalam pemberantasan korupsi.
“Artidjo dikenal sangat berani mengambil putusan yang boleh jadi mengagetkan banyak pihak, terutama dalam kasus-kasus yang menjadi perhatian masyarakat, terutama korupsi. Artidjo, misalnya acap kali memerikan hukuman yang berbeda dengan yang telah diputuskan oleh pengadilan di tingkat pertama dan banding. Majelis yang dipimpinnnya menginisiasi penjatuhan hukuman berupa pidana penjara dan pencabutan hak politik. Ini suatu terobosan untuk menjerakan koruptor,” kata Oce.
Sebagai seorang hakim, Artidjo mengetahui perannya tidak hanya memeriksa perkara, tetapi juga membentuk hukum. Peran itu bisa dikelola dengan baik oleh Artidjo, sehingga sejumlah putusannya memberi corak berbeda dalam putusan-putusan MA.
“Hakim itu kan berperan penting dalam membentuk hukum melalui penemuan hukum, antara lain dengan penafsiran-penafsiran hukumnya. Artidjo bisa memanfaatkan itu, dan memerankan dengan baik, sehingga tidak jarang putusannya mengagetkan koruptor, dan menjadi berita baik bagi gerakan antikorupsi,” ujarnya.
Masyarakat, kata Oce, menunggu penafsiran-penafsiran hukum serupa dilakukan oleh hakim agung dalam upaya pemberantasan korupsi yang makin masif. Oleh karena itu, MA didorong memilih ketua kamar dengan komitmen yang tinggi terhadap pemberantasan korupsi.
“Model-model putusan yang dikeluarkan Artidjo terbukti membuat gentar koruptor. Masyarakat pun memandang model putusan yang berani semacam itu bisa memberikan efek jera kepada koruptor. Untuk merawat dan meneruskan warisan baik dari MA itu, tentu perlu dipertimbangkan sosok hakim pengganti Artidjo dengan konsistensi yang setara dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya.