JAKARTA, KOMPAS — Syarat menjadi hakim Mahkamah Konstitusi bukan hanya memahami ilmu konstitusi dan hukum tata negara, melainkan juga menyangkut perilaku dan paham tugas kewenangan sebagai hakim. Ironisnya, panitia seleksi hakim MK menilai masih ada beberapa calon hakim yang memiliki keterbatasan dalam kapasitas dan integritas itu.
Dalam wawancara terbuka seleksi calon hakim MK, Selasa (31/7/2018), di kantor Sekretariat Negara, Jakarta, salah satu anggota pansel hakim MK, Sukma Violetta, melontarkan sejumlah pertanyaan kepada salah satu calon hakim, Ratno Lukito. Pertanyaan Sukma lebih mengarah kepada integritas calon hakim.
”Setiap profesi selalu dibarengi dengan instrumen yang mengawasi perilaku berupa kode etik. Sekarang bapak mendaftar sebagai hakim konstitusi. Tolong sebutkan kepada kami mengenai kode etik hakim MK?” kata Sukma.
Ratno sempat terdiam selama tiga detik. Tak lama, dia mengaku kalau tidak terlalu paham secara khusus soal kode etik hakim MK.
”Kode etik hakim MK secara spesifik saya belum terpikir itu. Namun, saya siap untuk mempelajari itu ketika saya menjadi hakim MK. Itu keterbatasan saya selama ini,” ujar Ratno.
Mendengar itu, Sukma meragukan keseriusan Ratno. ”Jadi, bapak mendaftar sebuah profesi lain tetapi bapak belum aware terhadap kode etik dari profesi yang bapak akan tuju?” kata Sukma yang dibarengi anggukan Ratno.
Saat ditemui usai wawancara seleksi hakim, Sukma mengungkapkan, evaluasi selama dua hari ini, masih ada beberapa calon hakim yang tidak seimbang antara pemahaman integritas dan ilmu konstitusi. Padahal, bagi dia, seorang hakim MK harus kuat dalam dua kelompok itu.
”Dua kelompok itu masih memiliki keterbatasan. Ada beberapa calon yang kelihatan dari segi kapasitas masih belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan bahwa dia punya kapasitas yang cukup untuk menjadi hakim MK, tetapi di satu sisi ada juga yang masih terbatas mengenai integritas. Padahal, dua itu harus dipersiapkan secara matang oleh calon hakim,” ujar Sukma.
Sukma menyebut, pemahaman kode etik penting untuk menjaga integritas hakim dan menjadi sistem pengawasan diri. ”Artinya, hakim tidak cukup penguasaan teori, tetapi lemah di perilaku,” ujarnya.
Sementara itu, anggota pansel hakim MK lain, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan, bukan hal yang mudah untuk mendalami integritas calon hakim di waktu wawancara yang relatif singkat, yakni 1,5 jam. Karena itu, pansel harus berusaha mendalami rekam jejak dan karya-karya calon hakim di luar waktu wawancara.
”Persyaratan yang dibawa UU soal integritas bukan perkara yang mudah karena waktu terbatas. Namun, pansel pasti berusaha yang terbaik untuk memilih yang terbaik, paling tidak dengan meng-compare bukan hanya sekadar wawancara hari ini, melainkan lewat karya dan rekam jejak mereka. Harus kami buka dengan detail untuk menentukan siapa calon yang pas yang nanti dibawa ke Presiden,” kata Zainal.
Zainal juga mendorong agar dua lembaga lain yang mengajukan calon hakim, yakni Mahkamah Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat, untuk mengutamakan nilai transparansi, akuntabel, partisipatif, dan terbuka sesuai Pasal 19 Ayat 2 dan Pasal 20 Ayat 1 UU MK. Selama ini, pengajuan dengan memenuhi cara itu hanya dilakukan oleh Presiden.
”Seharusnya proses yang terbuka, partisipatif, serta akubtabel itu harus bisa direplikasi di DPR dan MA karena kualitas calon MK itu tidak hanya tanggung jawab Presiden,” ujarnya.
Bahkan, Zainal menyebut, asas-asas itu penting untuk didetailkan dalam RUU Jabatan Hakim. ”Jadi, kita ke depan punya guidance yang jelas. Apalagi kita mengambil proses rekrutmen yang sangat politis. Nah, mengatur itu adalah cara untuk membingkainya bahwa proses lebih bermartabat dan lebih baik,” katanya.