JAKARTA, KOMPAS - Untuk meningkatkan pengamanan kepada tersangka kasus terorisme, Kepolisian Negara RI tengah mempersiapkan rumah tahanan khusus yang dibangun di wilayah Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Keberadaan fasilitas itu akan menggantikan fungsi rutan Markas Komando Brigade Mobil, Depok, Jabar.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengatakan, pembangunan rutan khusus teroris itu didasari kebutuhan Polri untuk menampung ratusan terduga dan tersangka kasus terorisme yang masih dalam proses penyidikan. Sebelumnya, para tersangka teroris menjalani pemeriksaan dan penahanan di rutan Mako Brimob. Tetapi, rutan tersebut tidak dilengkapi sistem keamanan maksimal karena dibangun hanya untuk tahanan aparat penegak hukum.
Dampak dari kurangnya sistem keamanan itu mengakibatkan kerusuhan antara 156 tersangka teroris dengan anggota kepolisian, Mei lalu. Alhasil, Kepala Polri mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly untuk membangun rutan khusus teroris, sehingga rutan Mako Brimob Polri bisa dikembalikan ke fungsi awalnya.
"Rutan di Cikeas dibangun untuk kapasitas 340 orang. Sudah disetujui Presiden dan Menteri Keuangan, bulan ini mulai dibangun," ujar Tito di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Selasa (7/8/2018).
Rutan itu, lanjut Tito, dibangun dengan sistem kontainer yang diimpor langsung dari Spanyol. Sebab, sistem itu sudah digunakan di Spanyol dengan jaminan untuk memiliki sistem keamaman yang lebih ketat dan durasi pembangunan lebih cepat. Ia menargetkan pembangunan rutan khusus itu selesai pada akhir 2018.
Untuk sementara, sebanyak 283 teroris yang telah ditangkap selama Mei-Agustus ini, ditempatkan di sejumlah rutan di markas kepolisian daerah (polda), kepolisian resor, dan kepolisian sektor. "Kita sudah beri arahan agar mereka (tersangka teroris) ditempatkan di ruang tersendiri dan pengamanan lebih ketat," kata Kepala Polri.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Taufik Andrie menyambut baik rencana pembangunan rutan khusus teroris itu. Menurut dia, sudah saatnya pemerintah dan aparat penegak hukum memiliki rutan dengan fasilitas yang memadai dan sistem kontrol yang lebih baik dibandingkan di Mako Brimob.
Namun, ia mengingatkan, keberadaan insfrastruktur fisik yang lebih baik harus dibarengi dengan perbaikan sistem penanganan para tersangka. Penerapan prosedur operasional standar oleh petugas kepolisian terkait pelayanan harus benar-benar dipatuhi agar tidak ada celah bagi tersangka teroris itu melakukan tindakan yang merugikan aparat.
“Dibutuhkan fleksibilitas petugas karena para teroris dapat menggunakan celah-celah, misalnya disebabkan hak mereka tidak dipenuhi, untuk memunculkan kejadian besar. Mereka pintar melakukan propaganda, sehingga kesalahan penanganan harus dihindari oleh pemerintah dan aparat,” kata Taufik.
Penangkapan
Lebih lanjut, Tito memastikan, upaya penangkapan individu yang terkait aksi teror dan kelompok teroris masih akan terus dilakukan. Dasar hukum di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membekukan kelompok Jamaah Ansharut Daulah, tambah Tito, menjadi landasan penindakan hukum.
"Dasar hukum itu membuka peluang baru (untuk menindak). Kita akan bekerja terus," tutur Tito.
Kemudian, Polri juga telah membentuk satuan tugas (satgas) antiteror di 34 polda untuk membantu peran tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri. Satgas itu akan bekerja paralel dengan Densus 88 Antiteror untuk meredam dan mencegah pergerakan kelompok teroris di seluruh provinsi.