JAKARTA, KOMPAS - Banyak hakim yang masih belum memahami substansi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Hal itu tecermin dari masih minimnya putusan pengadilan yang berperspektif perlindungan kepada korban perempuan dan anak.
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengeluarkan dokumen amicus curiae atau sahabat pengadilan kepada Pengadilan Tinggi Jambi yang saat ini menangani perkara banding dalam kasus pemerkosaan yang dialami WA (15 tahun). WA divonis enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian, Jambi, Juli lalu, karena melakukan aborsi. WA juga merupakan korban pemerkosaan kakak kandungnya, AA (17 tahun). AA divonis dua tahun penjara.
Peneliti MaPPI FHUI, Dio Ashar, Minggu (12/8/2018), di Jakarta mengatakan, dokumen amicus curiae itu dikirimkan pada Sabtu lalu ke PT Jambi. Dokumen itu diharapkan menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi hakim PT Jambi dalam memutus perkara WA.
”Sebagai bagian dari masyarakat, kami ingin memberikan masukan kepada hakim supaya ketika memutus perkara itu memperhatikan Perma No 3/2017. Dalam putusan PN Muara Bulian, Juli lalu, kami belum melihat hakim menggunakan isi Perma No 3/2017 itu sebagai bagian dari pertimbangan penting ketika memutus perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum,” kata Dio.
Perma No 3/2017 mengatur hakim untuk mempertimbangkan juga dampak psikis yang dialami korban, ketakberdayaan korban, relasi kuasa yang mengakibatkan korban atau saksi tidak berdaya, dan riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban. Dalam putusan PN Muara Bulian, hakim dinilai tidak mempertimbangkan hal-hal yang secara jelas diatur di dalam Perma No 3/2017. Hakim dinila semata-mata melihat fakta legal-formal.
Perma No 3/2017 mengatur hakim untuk mempertimbangkan juga dampak psikis yang dialami korban, ketakberdayaan korban, relasi kuasa yang mengakibatkan korban atau saksi tidak berdaya, dan riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban
Menurut MaPPI, dengan kondisi semacam itu, hakim seharusnya tidak menjatuhkan pidana penjara kepada WA. WA masih anak-anak sehingga pemenjaraan haruslah dijauhkan.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah mengatakan, hakim PT Jambi sudah menangguhkan penahanan WA. ”Penangguhan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi psikis korban,” katanya.
Menurut Abdullah, semua hakim seharusnya telah mengerti isi Perma No 3/2017. Setelah perkara itu mencuat ke permukaan, pihaknya langsung menyosialisasikan kembali Perma No 3/2017 kepada para hakim. ”Hakim sudah diingatkan dan dikirimi lagi perma itu. Hakim tidak ada alasan untuk tidak memahami isi perma tersebut,” ujarnya.
Hanya saja, Abdullah mengakui hakim masih kerap terjebak semata-mata dalam urusan legal- formal saat memeriksa perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum. Perma No 3/2017 itu dikeluarkan untuk mengubah perspektif itu di pengadilan. ”Idealnya, bahkan, perkara semacam ini tidak diajukan ke pengadilan atau dimediasi sejak di tingkat penyidikan,” ujarnya.