JAKARTA, KOMPAS - Keberadaan hakim dari jalur nonkarier di Mahkamah Agung kian terancam setelah MA meminta secara khusus agar Komisi Yudisial meloloskan hakim karier sebagai calon hakim agung dalam tiga kali seleksi. Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Juli 2017 dijadikan alasan MA untuk meminta calon hakim agung dari jalur hakim karir.
Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi, Senin (13/8/2018), di Jakarta, mengatakan, KY masih membahas pendekatan yang akan digunakan oleh KY dalam menanggapi permintaan calon hakim agung oleh MA. Pasalnya, MA kembali meminta calon hakim agung dari jalur karier untuk semester kedua tahun 2018. Permintaan itu ditegaskan dalam surat MA yang secara jelas meminta agar hakim agung selanjutnya berasal dari jalur karier.
”Kami sedang mengadakan rapat pleno membahas permintaan MA. Karena menurut Undang-Undang No 18/2011 tentang KY, seleksi calon hakim agung dibuka tidak hanya dari jalur hakim karier, tetapi juga dari jalur nonkarier, UU KY memberikan kewenangan kepada KY untuk tidak membatasi seleksi pada jalur karier semata,” kata Farid.
Dalam suratnya, pimpinan MA mencantumkan Putusan MK No 53/PUU-XIV/2016 sebagai landasan hukum. Putusan MK itu menyatakan, KY memenuhi kebutuhan hakim agung sesuai dengan permintaan MA. Putusan itu juga memperberat syarat bagi calon hakim agung dari jalur nonkarier. Sebelumnya, calon hakim agung nonkarier disyaratkan berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum. Kini, dengan putusan MK, syarat itu diperketat harus ada keahlian di bidang hukum tertentu.
Farid mengatakan, pada prinsipnya KY berkomitmen dengan UU KY yang menyatakan kewenangan seleksi calon hakim agung ada di tangan KY. Dalam melakukan seleksi itu, KY membuka dua jalur, yakni dari jalur karier dan nonkarier.
”Kami juga pernah diingatkan oleh MA karena membuka jalur hakim nonkarier, tetapi kami masih berpegang pada UU KY yang menganggap tidak ada perbedaan antara hakim karier dan nonkarier,” katanya.
Juru Bicara MA Suhadi mengatakan, permintaan calon hakim agung adalah kewenangan Ketua MA.
”Semua tergantung kepada Ketua MA, apakah meminta hakim dari jalur karier atau nonkarier. Kalaupun permintaan itu didasarkan oleh putusan MK, ya, itu mungkin saja, karena pada dasarnya semua tergantung kepada kebutuhan MA,” ujarnya.
Suhadi membantah bahwa MA tidak lagi memerlukan hakim agung dari jalur nonkarier. ”Kami masih memerlukan hakim nonkarier, terutama untuk hakim di bidang pajak. Jadi, soal hakim karier atau nonkarier itu tergantung pada kebutuhan,” ujarnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, jika KY merasa kewenangannya dicampuri pihak lain dalam seleksi calon hakim agung, semestinya KY bertindak dan tidak bersikap pasif.