JAKARTA, KOMPAS – Komisi Yudisial resmi membuka pendaftaran Hakim Agung tahun 2018 di Kantor Komisi Yudisial Jakarta, Rabu (15/8/2018). Salah satu kebutuhan yang cukup mendesak adalah posisi Hakim Agung untuk kamar Tata Usaha Negara khusus Pajak.
Komisi Yudisial resmi membuka pendaftaran 8 Calon Hakim Agung mulai tanggal 15 Agustus – 6 September 2018. Pendaftaran dilakukan secara online melalui situs resmi Komisi Yudisial. Posisi Calon Hakim Agung yang akan dipenuhi adalah 1 orang untuk kamar Pidana, 1 orang untuk kamar Agama, 2 orang untuk kamar Militer, 3 orang untuk kamar Perdata, dan 1 orang untuk kamar Tata Usaha Negara khusus pajak.
Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial, Aidul Fitriciada Azhari mengatakan, saat ini hanya ada satu Hakim Agung yang menguasai perpajakan di Mahkamah Agung. Oleh karena itu kebutuhan Hakim Agung di bidang perpajakan saat ini sangat mendesak. Menurutnya, salah satu kesulitan dalam merekrut Hakim Agung Perpajakan berkaitan dengan latar belakang keilmuannya.
“Di dalam undang-undang, persyaratan keilmuan hakim harus sarjana hukum. Sementara Hakim Pajak umumnya berasal dari latar belakang ekonomi atau akuntansi. Kami sudah menemui Kepala Hakim Pajak dan beliau mengakui juga bahwa memang sangat terbatas hakim pajak yang memiliki ilmu hukum,” ungkap Aidul.
Padahal, menurut Aidul, jika Hakim Pajak sudah berkarir lebih kurang selama 10 tahun, ia cenderung memiliki keahlian yang luar biasa. Pengalaman memeriksa di direktorat pajak juga tentunya sudah cukup profesional.
“Kebetulan hari ini saya mewawancarai beberapa hakim pajak. Banyak yang berasal dari STAN. Jadi mereka akan berkarir sebagai Hakim Pajak tapi tidak bisa menjadi Hakim Agung karena latar belakangnya. Hakim pajak itu bisa jadi memiliki pengalaman panjang di bidang peradilan,” tambahnya.
Calon Hakim Agung bisa diajukan melalui jalur karir dan nonkarir. Peserta dapat diajukan dari Mahkamah Agung, Pemerintah, dan masyarakat. “ Jika dari Pemerintah bisa dari jaksa, birokrat, atau polisi. Jika masyarakat, bisa dari akademisi atau praktisi,” kata Aidul.
Integritas
Aidul mengatakan, salah satu yang dipertimbangkan dalam proses rekrutmen ini adalah persoalan integritas. Hal ini bisa dilihat dari rekam jejak masing-masing Calon Hakim Agung. Pada proses rekrutmen sebelumnya, dari 85 pendaftar hanya ada 2 yang berhasil memenuhi syarat.
“Pada rekrutmen sebelumnya, persaingan cukup ketat. Selain itu jika melihat kompetensi dan integritas yang dimiliki, pendaftar Hakim Agung sebelumnya tidak terlalu baik. Itu hasil yang kita peroleh. Kualifikasi pada pendaftar tahun kemarin jauh lebih rendah dari standar yang sudah ditetapkan,” kata Aidul.
Setiap proses rekrutmen, Komisi Yudisial selalu menyertakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memperoleh data harta kekayaan. Baik calon hakim karir maupun nonkarir wajib melaporkan harta kekayaannya.
“Misalnya seorang hakim golongan IV D dengan penghasilan Rp 40 juta tetapi memiliki kekayaan yang berlebihan, punya tanah dimana-mana. Contoh lain jika dari nonkarir hanya melaporkan tiga rekening tapi sebenarnya ada puluhan. Itu akan kami telusuri,” kata Aidul.
Aidul menyadari, hakim nonkarir idealnya juga tidak boleh terlalu banyak. Hal itu karena hakim nonkarir membutuhkan masa adaptasi teknis yudisial yang cukup panjang. Untuk hakim nonkarir syaratnya harus memiliki kualifikasi pendidikan master dan doktor di bidang ilmu hukum tertentu sesuai kamar yang dipilih.
“Misalkan jika permohonannya pidana. Maka nanti yang mendaftar di kamar pidana harus berlatarbelakang master dan doktor di bidang ilmu pidana bukan ilmu perdata,” ungkap Aidul. (FAJAR RAMADHAN)