JAKARTA, KOMPAS – Pengimplementasian jalan tengah di bidang politik memerlukan keterbukaan dalam mencari dan melihat pilihan-pilihan lain di luar pihak yang terlibat. Dalam hal ini, Indonesia telah menunjukkan sikapnya sejak masa kemerdekaan.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa periode 2004-2007, Makarim Wibisono, menyampaikan, konsep jalan tengah bukan hanya sekedar konsep, namun harus diimplementasikan. Indonesia pun telah menunjukkan konsep jalan tengah melalui politik bebas aktif.
“Kesulitan dalam menerapkan konsep jalan tengah di dalam politik adalah sikap ketidakberpihakan yang membuat kita harus memilih jalan sendiri. Maka, dalam mengatasi setiap persoalan dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat untuk menentukan sikap,” kata Makarim, di Jakarta, Rabu (15/8/2018).
Dalam acara World Peace Forum ke-7, pada sesi kelima bertemakan “The Middle Path: Implementation in Politics”, Makarim mengatakan, dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan, dibutuhkan sikap inklusivitas melalui dialog dan diskusi. Cara ini membuat setiap pihak dapat menyampaikan persoalannya sehingga akar permasalahan dapat ditemukan.
“Semua konflik berawal dari pikiran. Maka dibutuhkan duduk bersama dan sikap mendengarkan sehingga dapat menentukan jalan keluar yang terbaik,” kata Makarim.
Hal senada disampaikan oleh Professor of Poltical Sciences at University Paris, Delphine Alles. Menurutnya, penerapan konsep jalan tengah dalam politik tidaklah mudah.
“Sebagai sebuah metode, konsep jalan tengah harus diimplemantasikan dengan cara mendengar lebih banyak. Tujuannya untuk mendapatkan akar masalah sehingga solusi dalam aksi nyata dapat dilakukan,” kata Delphine.
Islam Wasathiyah dalam Politik
Staf khusus Wakil Presiden Republik Indonesia, Azyumardi Azra, mengatakan, kekhasan politik Indonesia dalam kaitannya dengan Islam Wasathiyah adalah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara.
“Meskipun 88 persen dari total penduduk Indonesia adalah Muslim, namun Indonesia bukan negara Islam. Dasar negara pun tetap berpegang teguh pada Pancasila. Hal ini menunjukkan, Pancasila sebagai dasar begara yang bersahabat dengan agama,” kata Azyumardi.
Terutama pada sila pertama yaitu, Ketuhanan yang Maha Esa. Oleh karena itu, kekerasan dan pemberontakan politik di Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan dengan negara-negara Muslim lain di Timur Tengah.
Melalui Islam Wasathiyah, umat Muslim di Indonesia pun tidak bermasalah dengan demokrasi. Kebebasan demokrasi terwujud sejak masa kemerdekaan Indonesia. Meskipun demokrasi Indonesia telah melalui berbagai bentuk dalam tiap pemerintahan, pada intinya nilai demokrasi diterima masyarakat.
“Indonesia juga sangat terbantu oleh Islam Wasathiyah yang diwujudkan dalam bentuk organisasi-organisasi masyarakat (ormas) berbasis Islam. Misalnya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Kedua organisasi ini tidak hanya aktif dalam bidang dakwah dan pendidikan, namun juga berperan dalam kekuatan pengimbang dan mediasi antara negara dan masyarakat,” papar Azyumardi.
Namun, menurut Azyumardi, ormas berbasis Islam baik Muhammadiyah maupun NU atau ormas lainnya, harus tetap dikonsolidasikan. Sebab, ada paham radikal yang tetap disusupi ke dalam ormas-ormas berbasis Islam. Dalam hal ini, konsolidasi berfungsi untuk menjaga keutuhan negara Indonesia.