Pendidikan Pancasila Bawa Indonesia Pecahkan Rekor Dunia
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Pendidikan politik tentang penanaman nilai-nilai Pancasila saat ini dipandang sebagai sesuatu yang penting diterapkan terlebih kepada generasi milenial. Semangat menjaga demokrasi dan keberagaman akan terjaga seiring dengan terus ditanamkannya ideologi Pancasila tersebut.
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menggelar acara dengan tema ”Pendidikan Politik, Indonesia Rumah Kita Bersama: Implementasi Nilai-nilai Pancasila bagi Generasi Milenial” di Tangerang, Banten, Kamis (16/8/2018). Acara tersebut sekaligus membawa Indonesia memecahkan rekor dunia dari Guinness World Records sebagai pendidikan politik dengan peserta terbanyak.
Pendiri LSI, Denny JA, mengatakan, dukungan publik terhadap Pancasila selama 13 tahun ini mengalami tren penurunan. Berdasarkan survei LSI, pada 2005 dukungan publik atas Pancasila sebesar 85,2 persen. Adapun pada 2018 dukungan tersebut turun menjadi 75,3 persen.
”Faktornya ada banyak hal. Misalnya, makin jarang Pancasila dikibarkan pada zaman sekarang. Banyak juga alternatif ideologi lain yang bermunculan, seperti NKRI bersyariah. Jika ini dibiarkan, bukan tidak mungkin pendukung Pancasila ke depan menjadi minoritas,” kata Denny.
Indonesia berhasil memecahkan rekor dunia sebelumnya yang dipegang oleh Amerika Serikat dengan jumlah peserta pendidikan politik sebanyak 714 peserta. Pada pendidikan politik yang digelar kali ini berhasil dihadiri 2.144 peserta dari kalangan SMA sederajat.
Menurut Denny, dengan dipecahkannya rekor dunia ini sekaligus menandai momentum awal agar pentingnya penanaman nilai-nilai Pancasila, khususnya bagi generasi milenial, menjadi perhatian nasional. Selanjutnya, akan ada pelatihan kepada 1.000 juru bicara Pancasila yang akan disebar ke 25 provinsi di Indonesia.
”Gerakan yang lebih besar akan dilakukan. Peserta pelatihan yang disebar ke 25 provinsi berasal dari 34 provinsi di Indonesia. Kami juga sudah siapkan bukunya,” kata Denny.
Denny menambahkan penanaman nilai Pancasila pada generasi milenial juga menggunakan cara berpikir generasi milenial. Ideologinya juga harus disesuaikan dengan zaman mereka, yaitu hak asasi dan keberagaman.
”Mulai dari alatnya harus memakai media sosial. Bukan hanya isi dari Pancasila, tetapi gaya penyampaiannya pun harus disesuaikan dengan era milenial,” kata Denny.
Denny mengatakan, pemerintah saat ini memang harus mengatasi ketimpangan ekonomi, tetapi paham ideologi yang menjamin keberagaman juga harus dimenangkan. ”Kita ingin Pancasila di era kita sesuai dengan kultur kita yang diwarnai prinsip-prinsip hak asasi dan demokrasi,” ujarnya.
Keberagaman
Pada acara tersebut yang bertindak sebagai salah satu pembicara adalah Yudi Latif. Dalam materinya, ia mengajak para generasi milenial mengenal unsur-unsur keberagaman Indonesia. Menurut Yudi, masyarakat Indonesia sebenarnya adalah peleburan dari berbagai ras mainstream dunia.
”Semua budaya masuk ke Indonesia dan berakulturasi menjadi budaya baru. Cetakan dasar Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika. Untuk mempersatukan itu, Bung Karno membuat dasar negara yang menjadi dasar filsafat negara, yaitu Pancasila,” kata Yudi.
Komaruddin Hidayat, selaku pembicara kedua, mengatakan, banyak negara yang mengagumi keberagaman yang ada di Indonesia. Hal itu karena Indonesia adalah negara kepulauan, bukan seperti negara lain yang tergabung dengan daratan.
”Wilayah AS, China, dan Rusia juga luas tetapi berbentuk daratan jadi mudah disatukan. Yang berhasil mengikat keberagaman Indonesia adalah cita-cita bersama ingin merdeka, bukan suku dan agama,” ujarnya. (FAJAR RAMADHAN)