Napi Dapat Remisi, Anggaran Jadi Hemat Rp 118 Miliar
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah memberikan remisi umum pada hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-73 kepada 102.976 narapidana di seluruh Indonesia. Pemberian remisi ini berdampak langsung pada penghematan anggaran negara sekitar Rp 118 miliar, sekaligus mengurangi hunian yang berlebih di seluruh lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di Tanah Air.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Ade Kusmanto, Jumat (17/8/2018) di Jakarta menuturkan, 102.976 napi yang memeroleh remisi umum (RU) tersebut mendapatkan potongan masa pidana 1-3 bulan, dan sebanyak 2.220 napi di antaranya langsung bebas karena sisa masa pidananya habis setelah dikurangi remisi. Napi mendapatkan remisi setelah memenuhi syarat yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dari ratusan ribu napi yang mendapat remisi, sejumlah tokoh mendapat potongan hukuman, antara lain mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (2 bulan), Abu Bakar Baasyir (5 bulan), Hisyam alias Umar Patek (2 bulan), Gayus Tambunan (6 bulan), dan Nazaruddin (6 bulan), dan Saipul Jamil (4 bulan).
Kendati tergolong napi dalam kejahatan luar biasa, Abu Bakar Basyir dan Umar Patek yang ditangkap dalam kasus terorisme tetap bisa menerima remisi karena mereka ditangkap sebelum PP 99/2012 berlaku. Begitu juga dengan Gayus Tambunan yang divonis dalam kasus korupsi.
“PP 99/2012 memberikan syarat ketat kepada napi dalam kasus terorisme, narkoba, dan korupsi untuk bisa mendapatkan remisi. Mereka terlebih dulu harus menjadi justice collabolator untuk bisa menerima remisi. Namun, ketentuan itu tidak berlaku bagi napi yang diproses sebelum PP tersebut berlaku,” kata Ade.
Adapun untuk Nazaruddin, mantan bendahara Partai Demokrat, remisi diberikan karena yang bersangkutan dinyatakan telah bekerja sama dengan KPK dalam membongkar sejumlah kasus korupsi.
Melebihi daya tampung
Menurut catatan Ditjen Pas Kemenkumham, hingga 16 Agustus 2018 terdapat 250.452 orang tahanan dan napi di seluruh Indonesia. Mereka menghuni 522 lapas, rutan dan Lembaga Khusus Pembinaan Anak (LPKA). Dari jumlah itu, 177.691 orang adalah napi, dan 72.761 orang masih berstatus tahanan. Jumlah 250.452 napi dan tahanan itu pun telah dua kali lipat melampaui daya tampung yang dimiliki oleh rutan dan lapas seluruh Indonesia. Daya tampung yang dimiliki rutan dan lapas hanya 124.696 orang.
“Selain merupakan bentuk penghargaan atau hadiah guna menumbuhkan harapan kepada napi, pemberian remisi ini bisa menghemat anggaran negara sekitar Rp 118 miliar. Penghematan dihitung dengan mengalikan total uang makan sehari para napi dengan jumlah hari yang dipotong dari masa pidana mereka,” kata Ade.
Setiap harinya, masing-masing napi mendapatkan jatah makan senilai Rp 14.700. Adapun total masa pidana yang dipotong dengan remisi yang diberikan pada hari kemerdekaan ialah 8.091.870 hari. Dari perhitungan itu, pemberian remisi kepada napi mampu menghemat sekitar Rp 118 miliar uang negara.
Negara menanggung beban berat akibat lapas dan rutan yang kelebihan penghuni. Peneliti Center for Detention Studies (CDS) Gatot Goei mengatakan, membengkaknya biaya makan dan kesehatan merupakan unsur materiil yang secara langsung bisa diukur bila lapas dan rutan telah kelebihan penghuni (overcrowding). Ironisnya, sebagian besar atau sekitar 60 persen dari penghuni lapas adalah pengguna narkotika yang semestinya direhabilitasi.
Untuk mengurangi beban yang harus ditanggung oleh negara, menurut Gatot, sudah seharusnya dipikirkan solusi lain yang tidak menjadikan pemenjaraan sebagai tujuan akhir. Pencandu narkotika, yang kini mendominasi lapas dan rutan, sebaiknya direhabilitasi, dan tidak dipenjara.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara menilai, komitmen pemerintah tidak jelas dalam menangani problem overcrowding. Berdasarkan data Ditjen Pas per Mei 2018, beban rutan dan lapas di Indonesia mencapai 201 persen.
“Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, penjara masih sangat dominan digunakan sebagai hukuman, dan cenderung digunakan berlebih (overused). Laporan Statistik Ditjen Pas mencatat, penjara hampir lima kali lebih sering digunakan dibandingkan pranata lain di luar penjara,” katanya.
Ironisnya, pemerintah dalam penyusunan regulasi menyangkut sistem peradilan pidana, seperti terlihat dalam pembahasan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), masih menjadikan pidana penjara sebagai tujuan akhir. ICJR mencatat, dari 1251 perbuatan pidana dalam RKUHP, perbuatan pidana yang diancam pidana penjara menduduki porsi paling tinggi (1154 perbuatan), diikuti dengan pidana denda (882 perbuatan).
“Pengaturan RKUHP tidak merumuskan alternatif pemidanaan non pemenjaraan secara lengkap, dan diperburuk dengan kriminalisasi berlebihan, sampai naiknya ancaman sejumlah tindak pidana. Presiden perlu menunjukkan komitmen dalam penyelesaian masalah overcrowding dengan taktis dan sistematis,” ujar Anggara.