Pesan Politik Elektoral di Balik Pidato Kenegaraan Jokowi
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Ketua SETARA Institute Hendardi menyebut ada pesan politik elektoral di balik Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo yang dibacakan di Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, pada Kamis, (16/8/2018).
Dalam pidato tersebut, Jokowi menyebut pesan kebangsaan kuat dengan mengutamakan kebhinekaan yang kemudian diikat oleh Pancasila. Narasi itu terucap dalam konteks penyelenggaraan kontestasi politik yang aman dan damai.
“Pesan-pesan elektoral tetap terselip dalam pidato Jokowi, intinya merangkul umat Islam, memajukan ekonomi Islam, dan mendorong ulama dalam mengatasi pandangan keagamaan radikal,” ujar Hendardi.
Pesan-pesan elektoral tetap terselip dalam pidato Jokowi, intinya merangkul umat Islam, memajukan ekonomi Islam, dan mendorong ulama dalam mengatasi pandangan keagamaan radikal
Menurut Hendardi, nuansa merangkul umat yang ditunjukkan Jokowi bisa dipandang sebagai hal biasa karena kapasitasnya sebagai kepala negara, bukan kontestan Pilpres. Secara implisit, Jokowi ingin menyebut politik identitas yang subur bisa dikurangi pada Pilkada serentak 2017 dan 2018. Politik identitas diharapkan juga tidak akan terjadi pada Pemilu 2019.
Hendardi mengatakan, politik identitas memang melekat dalam kehidupan politik suatu bangsa tetapi bisa dihindari daya rusaknya dengan pengelolaan yang baik.
Adapun, hal yang tak baik dilakukan salah satunya mengeksploitasi politik identitas untuk menundukkan lawan politik dan memperluas konstituen baru. Praktik tersebut menegasikan politik gagasan yang seharusnya menjadi variabel utama dalam menentukan pilihan.
“Nuansa politik identitas yang disampaikan Jokowi pada pidato kenegaraan tidak memiliki daya rusak. Jokowi pun telah mempraktikkan politik identitas sebagai pertimbangan menentukan Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden pada Pilpres 2019, awal Agustus lalu,” ujar Hendardi.
Pelanggaran HAM
Selain menyinggung politik identitas, Jokowi juga menyelipkan pesan elektoral penting, yakni mempercepat penyelesaian pelanggaran kasus-kasus hak asasi manusia (HAM) masa lalu.
Selain ditujukan untuk membangun citra diri sebagai peduli HAM, pidato itu mengingatkan kepada publik pada sosok lawan Jokowi, yakni Prabowo Subianto yang santer dituding terlibat dalam penculikan dan penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998,” tutur Hendardi.
Pesan tersebut sulit disangkal publik, mengingat hal yang sama, terkait ‘ketidakbersihan’ Prabowo Subianto terkait pelanggaran HAM dijadikan senjata Jokowi pada Pilpres 2014 silam.
Hendardi mengungkapkan, agenda penuntasan pelanggaran HAM menjadi ritual rutin menjelang Pilpres. Menurutnya, pernyataan Jokowi tersebut tidak memiliki bobot yang kuat sebagaimana pernyataan yang diucapkan keluarga korban dan pegiat HAM dalam aksi Kamisan. Keluarga korban sungguh-sungguh menghendaki penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. (ISNA NUR INSANI)